Jumat, 22 November 2024

Penerimaan Pajak Sudah Lampu Merah

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan

Berdasarkan data dan analisis dari Dradjad Wibowo & Partners (DWP), sebuah lembaga kajian strategis dan intelijen ekonomi, situasi penerimaan negara, khususnya dari pajak, benar-benar sangat mengkhwatirkan. Jika ditambah dengan bakal anjloknya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari migas, maka penerimaan negara dan APBN boleh dikatakan sudah berada di lampu merah.

DWP menilai pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya terlalu banyak ribut di bidang politik dan hukum, sehingga lalai terhadap ancaman di bidang ekonomi. Padahal stabilitas APBN menghadapi ancaman serius akibat depresiasi Rupiah dan anjloknya harga minyak. Jika tidak segera ditangani, Indonesia bisa menghadapi krisis APBN pada tahun ini.

“Data yang diperoleh DWP dari sumber-sumber pemerintah menunjukkan, penerimaan pajak per 24 Maret 2015 baru mencapai Rp 172.06 triliun, atau 13,29 persen dari target Rp 1294 triliun. Dalam hal PPh non-migas, dari target Rp 671,2 triliun, realisasinya baru Rp 107 triliun atau sekitar 16 persen. Sementara untuk PPN baru terealisasi Rp 63,3 triliun atau sekitar 11 persen dari target Rp 576,5 triliun. Sisanya adalah dari pajak-pajak yang lain,” ujar Dradjad Hari Wibowo, Ketua DWP di Jakarta, Selasa (24/3/2015) malam.

Yang lebih mengkhawatirkan, lanjutnya, realisasi penerimaan pajak tahun 2015 ini bahkan lebih rendah dari realisasi tahun 2014 untuk periode yang sama. Selama Januari sampai Februari misalnya, realisasi 2015 hanya sekitar 60 persen tahun 2014. Selama bulan Maret 2015, hingga tanggal 24 Maret baru terealisasi Rp 39 triliun.

Dengan tren tersebut, shortfall penerimaan pajak 2015 bisa sangat besar sekali, yang berpotensi terbesar dalam sejarah, yaitu antara Rp 270-360 triliun.

Kondisi di atas sangat berbahaya. Pertama, rendahnya realisasi penerimaan menjatuhkan realisasi belanja negara. Pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja pun terancam turun. Jika kondisi di atas tidak segera diatasi, pertumbuhan ekonomi berisiko turun menjadi 5 persen atau lebih rendah. Kedua, kepercayaan pasar terancam rusak karena pelaku usaha menilai APBN tidak aman, atau berisiko krisis APBN. Ketiga, bisa memicu efek spiral yang negatif. Contohnya, obligasi negara makin mahal, suku bunga naik dan seterusnya.

Karena itu DWP meminta pemerintah sigap mengatasi persoalan di atas. Ini tidak bisa hanya dibebankan kepada tim ekonomi kabinet semata. Pertama, pemerintah sebaiknya lebih fokus mengurusi perekonomian, antara lain dengan mendorong kompromi nasional, sehingga keributan politik dan hukum bisa dikurangi.

Kedua, perlu langkah terobosan di bidang penerimaan negara. Kenaikan tunjangan bagi Ditjen Pajak bisa dipahami sebagai sebuah terobosan. Namun efeknya, timbul kecemburuan dari pegawai Ditjen Bea Cukai yang tidak mendapat kenaikan tunjangan. Padahal, nilai rata-rata penerimaan negara per pegawai Bea Cukai lebih besar dari Pajak, yaitu Rp 26 milyar versus Rp 17 milyar per pegawai. Ketimpangan ini harus diperbaiki supaya adil.

Ketiga, DWP mengusulkan agar Presiden membentuk gugus tugas khusus yang membina penerimaan negara, langsung dari istana. Gugus tugas ini wajib menyusun dan menjalankan terobosan yang “out of the box”.

Gugus tugas ini jangan menakut-nakuti pembayar pajak. Realitasnya, pembayar pajak ketakutan dengan kebijakan yang selalu mengedepankan “pentungan” dibanding “wortel”. Contohnya adalah pelaporan pemotongan pajak deposito per nasabah. Ini bisa memicu capital flight. Di sisi lain, pembayar pajak sedang mengalami kesulitan akibat anjloknya Rupiah dan harga-harga komoditas. Jadi unsur “wortel”nya juga harus diperhatikan.

Gugus tugas ini harus sangat komunikatif dengan WP Badan sehingga bisa bekerja sama memaksimalkan potensi penerimaan. Tim optimalisasi di bawah Menkeu dirasakan tidak memadai karena “pangkat”nya kurang tinggi dan dipandang terlalu teknokratis.

Menurut Dradjad, Pemerintah perlu segera bertindak. “Jangan lupa tanggal 25 April adalah batas pembayaran SPT WP Badan. Kalau per tanggal tersebut realisasi penerimaan pajak tidak bisa diperbaiki, ke belakangnya APBN 2015 akan semakin terancam,” katanya.

Dradjad juga mengingatkan, tanggal 25 Maret adalah hari terakhir pembayaran Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP). Sedangkan untuk WP Badan, batas waktunya adalah 25 April. (faz/iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
36o
Kurs