Pemerintah Jawa Timur berlakukan beberapa langkah guna memasarkan gula yang kini mulai tak laku akibat membanjirnya gula rafinasi yang diolah dari bahan mentah atau raw sugar impor.
“Ada beberapa langkah yang sudah kita ambil, di antaranya adalah membuka kantor pemasaran di beberapa provinsi di luar jawa,” kata Moch Samsul Arifien, Kepala Dinas Perkebunan Pemerintah Jawa Timur, Rabu (18/3/2015).
Saat ini, stok gula nasional yang tak laku terjual mencapai 1 juta ton, dari jumlah ini, separuhnya memang berada di Jawa Timur. Produksi gula dari jatim sendiri tiap tahun mencapai 1,2 juta ton dengan konsumsi masyarakat Jawa Timur hanya 450 ribu ton.
Selain membuka kantor pemasaran, harga lelang gula juga dibuat stabil. Sesuai Harga Pokok Penjualan (HPP), gula harusnya dijual Rp8.500 perkilogram. Namun untuk lelang saat ini terus mengalami penurunan bahkan sempat menyentuh harga Rp7.400 perkilogram.
Padahal dengan harga yang turun, bukan berarti ada jaminan gula akan laku, melainkan malah akan merugikan para petani tebu.
Sementara itu, Arum Sabil, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indoensia, mengatakan, selain gula yang tak laku, masalah yang dihadapi petani adalah rendahnya rendemen tebu yang kini hanya 7 persen.
“Idealnya rendemen bisa 10 persen,” kata dia. Untuk meningkatkan rendemen, maka tidak ada yang bisa dilakukan kecuali melakukan peremajaan pabrik-pabik gula yang ada di Jawa Timur.
Apalagi, hampir seluruh pabrik gula memang sudah berusia tua karena dibangun mulai jaman Belanda. Dengan rendemen yang rendah, maka harga gula memang harus tinggi sehingga tak merugikan petani.
Tingginya harga gula inilah yang mengakibatkan gula petani tidak bisa bersaing dengan gula impor. “Saat ini harga gula dunia hanya Rp6.000 perkilogram,” ujarnya
Karenanya, Asosiasi Petani Tebu Rakyat berharap rendemen bisa tinggi sehingga harga gula bisa ditekan dan memiliki daya saing. (fik/ipg)