Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mengatakan industri makanan dan minuman melakukan pengurangan jam kerja untuk efisiensi anggaran perusahaan akibat pelemahan rupiah yang terus terjadi.
“Kita melihat beberapa perusahaan sudah mulai teriak karena bottom line (laba) kita sudah mulai tergerus,” kata Adhi S Lukman Ketua Gapmmi usai dialog investasi dengan tema “Dampak Deregulasi terhadap Investasi”, Gedung Suhartoyo, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan pekerja tidak hanya menghadapi pembatasan jam kerja reguler tetapi juga mendapat batasan untuk jam lembur.
“Sebagian kalau pengurangan jam kerja itu termasuk mengurangi jam lembur kemudian ada sedikit yang mungkin bergiliran shift-nya,” tuturnya.
Pengurangan jam kerja tersebut, lanjutnya, pada akhirnya mengakibatkan pendapatan pekerja menjadi menurun. Dengan demikian, daya beli karyawan juga menurun.
“Ini otomatis pendapatan dari karyawan kita juga berkurang, biasanya ada lembur jadi berkurang,” ujarnya.
Selain itu, ia mengatakan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sejumlah karyawan telah terjadi.
“PHK kecil-kecilan sudah terjadi. Sudah terjadi terutama di garmen-garmen, ya misalnya garmen sepatu,” ujarnya.
Ia mengatakan pihaknya sedang mendata industri-industri yang melakukan PHK terhadap karyawannya.
“Minggu lalu sudah ada yang mengurangi jam kerja menggilir masuknya,” ujarnya.
Ia mengatakan hingga saat ini, belum ada industri makanan dan minuman yang tutup.
“Tutup belum saya dengar, tapi pengurangan jam kerja sudah mulai terjadi,” tuturnya.
Ia berharap nilai tukar rupiah akan kembali menguat sehingga industri makanan dan minuman tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk memperoleh bahan baku dari luar negeri.
“Kita harapkan tidak terus-menerus dan mudah-mudahan teman-teman bisa bertahan sampai akhir tahun ini dan kita sangat berharap ke depan tahun 2016 akan lebih baik lagi,” katanya.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Jumat pagi ini bergerak melemah sebesar 15 poin menjadi Rp14.695 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.680 per dolar AS.
“Nilai tukar rupiah kembali bergerak terdepresiasi terhadap dolar AS menyusul belum adanya momentum positif diantaranya proyeksi perekonomian Indonesia yang masih akan mengalami perlambatan,” kata Reza Priyambada Kepala Riset NH Korindo Securities Indonesia di Jakarta.
Ia mengemukakan pernyataan Bank Indonesia yang memprediksi kondisi ekonomi Indonesia sampai semester pertama 2016 belum menunjukan perbaikan menyusul neraca transaksi berjalan dan neraca pembayaran Indonesia yang masih defisit.
“Harapan perbaikan ekonomi masih minim sehingga membuat laju nilai tukar rupiah cenderung berada di area negatif. Intervensi pasar oleh BI pun diperkirakan hanya bersifat jangka pendek sepanjang belum ada kabar positif dari kinerja pemerintah terutama dalam menyerap anggaran belanja infrastruktur,” katanya.(ant/iss/ipg)