Sabtu, 23 November 2024
Upaya PGN Jadikan Surabaya Kota Gas Bumi

Energi Baik dari Kampung Lontong

Laporan oleh Fatkhurohman Taufik
Bagikan
Darmi bersama keluarga membuat lontong di rumahnya yang ada di Banyu Urip Lor, Surabaya. Foto : Eddy suarasurabaya.net

Tak ada yang istimewa dari kampung padat penduduk yang ada di Banyu Urip Lor, Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya. Diapit dua sungai kecil, kampung itu tak ubahnya kawasan padat penduduk lain di Surabaya, sesak dengan rumah kecil yang saling berhimpit. Di kampung ini, lebih dari 100 keluarga menggeluti usaha kecil sebagai pembuat lontong, makanan mirip ketupat berbungkus daun pisang.

Adalah Nenek Ramiah, warga Banyu Urip Lor yang merintis usaha rumahan ini. “Dulu nenek Ramiah jualan lontong dan mengajarkan ke tetangga,” kata Darmi, 42 tahun, cucu Ramiah yang kini juga membantu usaha neneknya, Rabu (28/10/2015).

Di era tahun 1970, ketika awal membuka usaha, Ramiah hanya membuatkan lontong untuk para tetangganya yang berjualan tahu tek, makanan khas Surabaya yang memadukan lontong, tahu, kentang, sambal dan petis. Namun rasa yang enak dipadu harga yang terjangkau, menjadikan lontong dari Ramiah sejak tahun 2000 juga diminati oleh para pedagang tahu tek di beberapa daerah lain di luar Banyu Urip. Tak hanya tahu tek, longtong dari kampung ini juga diminati para penjual bakso, rujak cingur hingga tahu campur.

Sejak tahun 2000 itupula, peminat lontong Ramiah meningkat sehingga Ramiah mengajarkan pembuatan lontong ke para tetangganya. Kini, di Banyu Urip telah ada lebih dari 100 keluarga yang meniru jejak Ramiah memproduksi lontong dan menjadikan kampung itu dilabeli sebagai kampung lontong.

Darmi mengatakan, membanjirnya pesanan lontong menjadikan perekonomian masyarakat sekitar juga bangkit. Bahkan kini tak ada istilah pengangguran di Banyu Urip Lor. “Keluarga saya, mulai suami, menantu dan anak-anak semua ikut membantu membuat lontong,” kata dia.

Agar industri rumahan ini tetap eksis, kata Darmi, lontong tak hanya harus enak, melainkan harus bersaing dengan harga. Karena membikinnya yang relatif mudah, maka harga lontong juga harus semurah mungkin, sehingga konsumen tak memiliki alasan lain kecuali membeli ketimbang harus repot bikin lontong.

“Kita siasati dengan membeli beras dengan jumlah besar agar murah tapi tetap berkualitas. Daun pisang juga kita beli dengan jumlah banyak,” kata Darmi. Selain itu, energi pembakaran untuk menanak lontong juga dicarikan dengan yang paling murah.

Beruntung, sejak tahun 2012, Perusahaan Gas Negara (PGN) memberikan sambungan gas murah bagi mereka. Kini, puluhan keluarga di kampung lontong sudah tersambung gas pipa dari PGN. “Usaha kami jadi lebih lancar, untungpun juga lebih banyak karena gasnya lebih murah ketimbang pakai tabung LPG, apalagi pakai minyak tanah,” ujar Darmi.

Lebih Murah dengan Gas Pipa

Nenek Ramiah, pencetus berdirinya kampung lontong menceritakan, diawal masuknya PGN, tidak banyak warga yang berminat. Mereka takut gas mudah bocor dan meledak. “Kami juga takut apinya tidak biru, padahal lontong cepat masak dan bisa empuk kalau api biru,” ujar wanita yang kini sudah berusia 70 tahun itu.

Soal api ini pula, saat awal berdirinya usaha lontong, Ramiah sempat memakai kayu yang memiliki tekstur tebal dan keras semisal sisa-sisa mebel dari kayu jati. Dengan kayu yang keras, maka api yang dihasilkan akan berwarna biru dan mempermudah dalam memasak lontong.

Ketakutan ini pula yang menjadikan pemasangan pipa PGN ke kampung lontong sempat tersendat. Tak banyak warga yang berani beralih ke gas pipa. Padahal saat itu PGN mensyaratkan minimal ada 100 keluarga yang mendaftar, baru akan dilakukan pemasangan pipa ke kampung itu.

Kini, kekhawatiran warga ternyata tak terbukti. Pengaliran gas ke kampung itu malah mempermudah mereka dan menjadikan biaya produksi lontong lebih murah ketimbang menggunakan gas LPG jenis melon yang sebelumnya mereka gunakan.

Ramiah mengatakan, sebelum adanya gas pipa dari PGN, tiap hari dia membutuhkan tiga tabung gas berukuran melon untuk memasak dua panci berukuran besar. Dengan rata-rata satu tabung gas Rp16 ribu, maka biaya yang harus dikeluarkan tiap hari mencapai Rp48 ribu atau sekitar Rp1,4 juta per bulan.

Dengan menggunakan gas pipa, biaya yang dikeluarkan Ramiah paling mahal hanya Rp1 juta. “Bisa menghemat Rp400 ribu tiap bulan,” kata dia. Hemat Rp400 ribu ini tidak langsung dia rasakan karena Ramiah memilih memutar keuntungan dari gas dengan cara memangkas harga lontong.

Harga lontong yang dulu sempat mencapai Rp1.100 per bungkus, kini dikurangi menjadi Rp1.000 per bungkus. Meski mengurangi harga, namun dirinya tetap untung karena ada subsidi secara tidak langsung sebesar Rp400 ribu perbulan, dari hasil konversi yang telah dilakukan PGN dari gas tabung ke gas pipa.

Dengan pengurangan harga inipula, usaha Ramiah yang awalnya hanya berjualan sekitar 1.000 lontong, kini meningkat menjadi 1.500 lontong tiap hari. Artinya, saat ini Ramiah mendapatkan omset dari usahanya hingga Rp1,5 juta per hari. “Harga satu lontong memang saya turunkan, tapi jumlah yang terjual akhirnya lebih banyak, untungpun juga besar dan usaha semakin lancar,” kata dia.

Jadikan Surabaya Kota Gas Bumi

Dian Kuncoro, Head Distribution II PT PGN mengatakan, beberapa manfaat yang telah dirasakan menjadikan para pembuat lontong saat ini banyak yang mendaftar sebagai pelanggan baru. “Di kampung lontong awalnya baru terpasang 88 pelanggan, saat ini sudah ada 90 pelanggan baru yang mendaftar. Energi baik yang dibawa PGN benar-benar bermanfaat,” ujar Dian.

Dian menjamin, keberhasilan beberapa pembuat lontong menjadikan PGN kini tak ragu lagi untuk segera menambah pasokan pelanggan di kawasan Banyu Urip. Bahkan tak hanya di kampung lontong, PGN saat ini juga melirik untuk menyalurkan gas ke kampung jajan (Makanan Tradisional) yang ada di Keputran Panjunan, Surabaya.

Kerjasama dengan Pemerintah Kota Surabaya juga ditingkatkan salah satunya terkait proses penanaman pipa PGN untuk menyasar sentra-sentra usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lain yang ada di Surabaya. “Kita sudah ketemu Walikota, bahkan saat ini kita mulai bertemu dengan pihak kecamatan dan kelurahan untuk membicarakan titik pemasangan pipa, apakah lewat box culvert (selokan) atau bagaimana,” kata Dian.

Jauh sebelum keberhasilan pemasangan gas pipa di kampung lontong, PGN juga telah berhasil melakukan pemasangan pipa di kawasan Kelurahan Kali Rungkut, Kecamatan Rungkut, Surabaya. Kelurahan Kali Rungkut yang dikenal akan kebersihan dan beberapa kali menjuarai kelurahan terbersih di Surabaya ini, mayoritas warganya bahkan sudah bisa merasakan murah dan amannya menggunakan gas pipa milik PGN.

Dari catatan PGN, total pelanggan rumah tangga di Surabaya saat ini telah mencapai 8.800 pelanggan. “Di Jatim, selain Surabaya, rumah tangga yang sudah kami aliri gas juga tersebar di Sidoarjo dan Gresik dengan total 13.579 pelanggan rumah tangga,” kata dia.

Pelanggan sejumlah itu, di dalamnya sudah termasuk pelanggan yang ada di sentra-sentra UMKM, seperti di kampung lontong. Sedangkan untuk usaha besar dan komersial, PGN saat ini telah memiliki 590 pelanggan yang tersebar mulai dari Surabaya, Gresik, Sidoarjo hingga ke Mojokerto.

Khusus Surabaya, PGN bersama Kementerian Energi, dan Sumberdaya Mineral (ESDM) juga akan menjadikan kota ini sebagai kota gas bumi. Karenanya, selain fokus menyalurkan gas ke rumah tangga, PGN juga telah membangun 6 buah stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Di Surabaya, PGN kini fokus untuk menyasar 543.972 keluarga atau rumah tangga. Sedangkan SPBG yang telah didirikan akan terus ditambah sehingga bisa menyasar seluruh mobil yang menurut data di tahun 2013 jumlah mobil di kota pahlawan mencapai 297.266 unit.

Langkah lanjutan untuk menjadikan Surabaya sebagai kota gas bumi, juga akan dilakukan PGN dengan membangun 24.000 sambungan baru gas rumah tangga pada tahun 2016 mendatang. Tambahan sambungan gas tersebut akan meliputi tiga wilayah yaitu Surabaya Pusat, Surabaya Selatan dan Surabaya Timur, dengan masing-masing 8.000 sambungan rumah tangga.

Pertemuan antara Kementerian ESDM; PGN dan Walikota Surabaya juga telah dilakukan pada Kamis (9/7/2015) yang lalu. Saat itu telah disepakati untuk menjadikan Surabaya sebagai role model kota pengguna gas bumi.

Jobi Triananda Hasjim, Direktur Komersial PGN menyatakan, jika proyek di Surabaya berhasil, maka PGN siap untuk mengembangkan di berbagai kota lainnya di Indonesia. “Apalagi gas bumi bagi rumah tangga menjadi satu solusi untuk mengurangi ketergantungan pada impor LPG,” kata Jobi.

Apalagi, harga gas rumah tangga juga lebih ekonomis dibanding LPG. Sebagai perbandingan, satu keluarga yang menggunakan satu tabung LPG ukuran 12 kg harus mengeluarkan uang sekitar Rp140 ribu, dengan pemakaian yang sama, pengguna gas pipa rumah tangga hanya mengeluarkan uang sekitar Rp50 ribu.

Tri Rismaharini, saat hadir dalam pertemuan dengan kementerian ESDM dan PGN juga telah menjanjikan akan membantu merealisasikan pembangunan Surabaya sebagai kota gas. Langkah awal yang akan dia lakukan adalah mendukung konversi dari gas tabung ke gas pipa untuk seluruh sentra UMKM di Surabaya. “Di kampung lontong misalnya, akan kami dorong seluruh pembuat lontong bisa beralih ke gas pipa,” ujarnya.

Risma juga menjanjikan akan membantu mencarikan titik-titik teraman untuk penyaluran gas ke rumah tangga. Seluruh camat dan lurah juga telah diinstruksikan untuk membantu proses pipanisasi yang dilakukan PGN.

Walikota perempuan pertama di Surabaya ini juga telah mendorong berdirinya asosiasi di seluruh sentra UMKM sehingga bisa mempercepat proses pemasangan gas pipa baru. Di kampung lontong sendiri, saat ini juga sudah berdiri asosiasi penjual lontong sehingga asosiasi inilah yang bisa membantu izin pemasangan gas pipa baru ke PGN.

Kresnayana Yahya, Chairperson Enciety Business Consult mengatakan, penyambungan gas pipa adalah bagian dari upaya pemerintah untuk membantu meningkatkan kesejahteraan UMKM. Dengan biaya produksi yang bisa ditekan, maka UMKM tak hanya bisa bertahan melainkan juga mampu bersaing dalam era ekonomi ASEAN.

“Kampung lontong ini adalah salah satu model baru bagi perekonomian di Surabaya. Sentra-sentra UMKM lain bisa meniru kampung lontong sehingga perekonomian warga sekitar juga bisa meningkat,” kata pengajar ilmu statistik Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya ini.

Di kampung lontong sendiri, kata Kresna, saat ini juga telah berdiri paguyuban lontong mandiri (PLM) yang merupakan wadah bagi pembuat lontong untuk mengembangkan bisnisnya. PLM yang kini memiliki 76 anggota ini juga berperan aktif dalam membantu proses perizinan mulai dari pemasangan gas baru, hingga pemasangan aliran listrik baru.

Mereka juga telah terlibat aktif dalam berbagai forum untuk memasarkan lontong khususnya di Surabaya. “Ada tiga RW yang di dalamnya sudah banyak berdiri pembuat lontong, ini cukup bagus, tinggal pemerintah mengawal mereka agar tetap bertahan,” ujarnya.

Kini, kampung lontong memang terus bergeliat. Energi baik seperti slogan PGN benar-benar bisa dirasakan warga kampung lontong. “Semoga energi baik terus menular ke sentra-sentra UMKM lain di Surabaya,” kata Tri Rismaharini ketika berkunjung ke kampung lontong. (fik)

Teks Foto :
-Pembuat lontong di kampung lontong, Banyu Urip Lor, Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya.

-Peluncuran SPBG berkapasitas 0,5-1 MMSCFD atau 15.000-30.000 liter setara premium (lsp) per hari di Ngagel, Surabaya.

Foto-foto : dok suarasurabaya.net

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
29o
Kurs