Seperti siang-siang sebelumnya, Pak Ming, begitu dia akrab disapa, berbaur bersama pegawai tokonya yang sedang membersihkan bahan-bahan rempah, memilah biji Pala mana yang layak. Segenggam batang Kayu Putih di tangan kiri, sementara tangan kanannya sibuk menggengam lap membersihkan debu-debu yang menempel. Selangkah kemudian menuju depan etalase toko. “Sebentar, pengunjung ramai,” cegahnya ketika kami coba mengajaknya berbincang.
Suasana siang di toko ketika itu memang ramai. Pembeli memenuhi ruangan los di ruko yang sudah jadi toko bahan jamu dan rempah-rempah, di pojokan Jalan Panggung, Surabaya.
“Dulunya kita menempati toko di dalam dekat dengan Pasar Pabean,” kisahnya. Sayangnya, Pak Ming lupa sejak kapan orang tuanya mulai usaha ini. Dulu orang-orang masih menyebutnya Toko Hasil Bumi, kala itu orang masih akrab dengan bahan-bahan alami untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mencuci baju, atau untuk pewarna alami.
Tokonya kini lebih dikenal dengan UD Putra Rakyat Jaya. “Karena ya itu, bahan-bahan alami hasil bumi sekarang kebanyakan memang hanya untuk jamu saja, jarang yang menggunakannya untuk kebutuhan harian,” tambahnya.
Pak Ming konsisten menjalankan usaha toko hasil buminya, demi memenuhi kebutuhan warga yang masih yakin dengan khasiat minum jamu. “Seperti kondisi sekarang ini, toko malah semakin ramai dikunjungi orang yang nyari empon-empon. Kita maunya semua tetap sehat-sehat saja,” terang pria paruh baya ini.
Waktu suarasurabaya.net mengunjungi toko pada Selasa (4/8/2020), kondisinya sepi. Hanya ada satu-dua pembeli yang datang, ramainya tidak seperti waktu awal wabah merebak, di mana pembeli berdesakan menimbulkan antrean panjang.
Ian, salah seorang pegawai toko, menjelaskan kondisi toko yang tidak seramai 4-6 bulan lalu. Waktu itu, pemasukan meningkat hingga 200 persen, jam buka yang biasanya sampai pukul 16.00 diperpanjang menjadi pukul 18.00 WIB.
“Kenyataan ini dirasakan saja, kalau ramai kita seneng. Merasakan capek ya capek, tapi kita kan melayani orang dengan baik, walaupun sampai jam berapa pun. Ya gimana ya.., kita sabar menunggu. Demikian jika waktunya sepi ya sepi, rame ya rame. Harus bersyukur. Rame bersyukur, sepi ya bersyukur,” tuturnya.
Meski sekarang pembeli mulai berkurang, tapi masih ada saja orang-orang mencari hasil bumi. Selain untuk kebutuhan memasak, mungkin juga sebab sudah paham khasiatnya untuk kesehatan dan imunitas tubuh.
Dijelaskan Ian, di antara ribuan empon-empon yang dijual di sana, yang jadi primadona adalah Jahe, Temulawak, dan Kayu Manis. Ketiga tanaman rimpang ini dicari, karena khasiatnya dan banyak dibicarakan sebagai penangkal corona belakangan ini.
Alhasil, sempat terjadi kelangkaan hingga kenaikan harga yang cukup tinggi. Kelangkaan bukan hanya ada di tingkat penjual tapi juga di ranah eksportir. “Contohnya ya yang langka Jahe. Kebanyakan import dari Nigeria. Mau gimana lagi, untuk memenuhi kebutuhan pasar ya kita cari-carikan,” kata pria yang mengaku bekerja sejak tahun 90 -an ini.
Pelanggannya tidak hanya berasal dari Surabaya, tapi juga daerah-daerah sekitarnya. Bahkan ada pula yang berasal dari pulau seberang, seperti Kalimantan. Mereka berasal dari beragam latar belakang. Dari yang belanja grosir seperti pabrik dan tengkulak, hingga bakul jamu Gendong.
Kehadiran teknologi sungguh mempermudah manusia jaman sekarang. Toko Hasil Bumi merasakan bisa dengan mudah dicari. Ian bersyukur kehadiran mbah Google dan internet di jaman sekarang, karunia kekayaan alam yang melimpah ruah di Indonesia ini bisa terus dikenalkan dan disebarkan. Bila tidak, mungkin lama-lama bisa punah. “Anak sekarang mungkin gak tahu ini barang apa, khasiatnya apa juga mereka gak tahu. Tahunya obat dokter, kalo herbal-herbal mungkin belum akrab,” pungkasnya. (dfn/lim)