Pernyataan kontroversial Kepala BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) tentang “hoax yang membangun” dan kewenangan penangkapan, yang dilontarkan pada hari pelantikannya, 3 Januari 2018, mendapat tanggapan dari Fadli Zon Plt Ketua DPR RI.
Menurut dia, apapun motifnya, pernyataan semacam itu sangat berbahaya karena sebagai lembaga baru, tugas dan fungsi BSSN punya potensi untuk ditarik-ulur sesuai kepentingan kekuasaan, tidak lagi sesuai dengan ketentuan undang-undang.
“Keberadaan BSSN ini telah dirancang sejak 2015. Desain awalnya bukanlah untuk mengurusi hoax atau konten negatif di internet, tapi membangun ekosistem keamanan siber nasional. Jadi, kalau tiba-tiba Kepala BSSN ngomong seolah tugas BSSN adalah untuk menangkal hoax, itu harus segera diluruskan,” ujar Fadli di Jakarta, Senin (8/1/2018).
Untuk mengatasi “hoax”, “hate speech”, atau konten negatif internet, sudah ada lembaga yang menangani hal itu, mulai dari Direktorat Cyber Crime di Bareskrim Polri, Kominfo, hingga Dewan Pers.
Tugas BSSN, kata Fadli, adalah layaknya tugas kementerian pertahanan di dunia maya. BSSN, misalnya, harus bisa mengantisipasi serta mengatasi serangan ransomware seperti “Wannacry” yang sempat bikin heboh tahun 2017 lalu itu.
“Jangan sampai “ransomware” semacam itu mengancam atau bahkan merusak infrastruktur siber strategis yang kita miliki, seperti jaringan siber perbankan, bandara, rumah sakit, atau sejenisnya. Jadi, itulah wilayah tugas BSSN, yaitu membangun ekosistem keamanan dunia siber, dan bukannya ngurusi ?hoax? dan sejenisnya,” jelasnya.
Menurut Fadli, saat ini pengguna internet di Indonesia mencapai 132 juta orang. Hampir semua transaksi perbankan, pajak, listrik, serta transaksi komersial lainnya, kini dilakukan via internet. Apalagi, kini pemerintah dan Bank Indonesia juga sedang mengkampanyekan Gerakan Non Tunai dalam berbagai transaksi. Semua itu butuh pengamanan siber.
Kata Fadli, Indonesia saat ini masih rentan serangan siber. Sepanjang 2017, misalnya, ada lebih dari dua ratus juta serangan siber. Beberapa kasus serangan terhadap infrastruktur vital yang menonjol adalah usaha peretasan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) di awal Februari 2017 lalu, yang terjadi persis pada saat penghitungan suara Pilkada DKI putaran pertama. Hal-hal semacam ini harus bisa diantisipasi.
Mengacu kepada praktik di negara-negara lain, keamanan siber itu sebenarnya terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu ancaman siber (cyber threat), kejahatan siber (cyber crime), dan perang siber (cyber conflict). Sesuai undang-undang, penanganan kejahatan siber (cyber crime) di Indonesia merupakan menjadi tanggung jawab Polri, termasuk di dalamnya “cyber terrorism”.
Sedangkan, untuk perang siber (cyber conflict), hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan institusi TNI.
“Nah, BSSN seharusnya mengetahui di mana posisinya terkait tiga kategori tadi. Hanya, masalahnya, kalau saya baca Perpres pembentukannya, yaitu Perpres No. 53/2017, tugas dan kewenangan BSSN ini memang tidak jelas, karena hanya menyebut keamanan siber tanpa merinci taksonominya. Karena tak jelas, tugas dan kewenangan itu rentan ditafsirkan meluas,” tegas Fadli.
Mengacu pada desain awalnya, kata dia BSSN sebenarnya diposisikan sebagai lembaga koordinasi, isinya adalah para stakeholder dari lembaga terkait yang sudah ada, seperti Polri, TNI, BIN, ataupun Kominfo. Itu sebabnya posisinya dulu tetap dipertahankan di bawah Menko Polhukam. Sebagai lembaga koordinasi, BSSN akan menyusun kebijakan strategis, melakukan koordinasi, serta bertanggungjawab ketika terjadi ancaman atau insiden serangan siber.
Namun, dengan desain yang sekarang, sesudah Perpres-nya diubah menjadi langsung berada di bawah Presiden, tugas BSSN rentan tumpang tindih, karena merasa berkuasa. Pernyataan Kepala BSSN mengenai perlunya kewenangan penangkapan dan penindakan menunjukkan tendensi itu.
Fadli menjelaskan, seharusnya formasi BSSN langsung di bawah Presiden itu ditujukan memperkuat fungsi koordinasinya, bukan menambah kekuasaannya sehingga bisa overlap dengan lembaga lain. Ini yang perlu diingatkan, baik kepada BSSN maupun pada Presiden. Jangan lupa, BSSN ini dibentuk dengan Perpres, sehingga kewenanganya tak boleh melampaui lembaga yang dibentuk dengan UU.
“Karena dunia maya juga menjadi bagian dari ekosistem demokrasi, kitapun menginginkan agar BSSN turut menjaga dan memperkuat hal itu. BSSN tak boleh menjadi polisi demokrasi. Dunia maya memang butuh sensor, tapi itu hanya terbatas untuk kejahatan narkoba, pornografi, dan terorisme, bukan untuk kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat. Kita tak mendesain BSSN menjadi lembaga sensor seperti yang berlaku di RRC,” jelas dia.
Pernyataan Kepala BSSN, apapun motifnya, memberi kita bekal bagus karena segera menyadarkan kita pentingnya untuk segera mengontrol lembaga ini. Artinya, BSSN harus kita dorong agar bekerja sesuai aturan, kredibel, akuntabel, dan transparan. Ia juga harus terbuka terhadap pengawasan eksternal. BSSN adalah alat negara, bukan alat rezim untuk melanggengkan kekuasaan. BSSN jangan berperan sebagai polisi demokrasi.(faz/iss/ipg)