Senin, 25 November 2024

Kebijakan Pangan Harus Dibuat Terpadu di Satu Kementerian

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Ilustrasi

Fadli Zon, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menyatakan anjloknya harga gabah di sejumlah sentra produksi beras seharusnya segera menggerakkan pemerintah untuk menolong para petani.

Apalagi kata dia, anjloknya harga gabah petani itu satu diantaranya dipicu oleh pembukaan keran impor beras oleh Kementerian Perdagangan awal Januari lalu.

Jadi, menurut Fadli sudah seharusnya pemerintah ikut bertanggung jawab atas potensi kerugian yang dialami petani.

“Seperti yang sudah kami ingatkan, impor beras menjelang panen raya Februari mendatang ini memang hanya akan merugikan para petani kita saja,” ujar Fadli dalam pesan singkatnya,Selasa (30/1/2018).

Fadli mengaku mendapat informasi, baik di Sumatera maupun di Jawa, harga gabah petani jatuh bervariasi antara Rp. 600 hingga Rp. 800 per kilogram. Semula harganya bisa Rp 5.200 hingga Rp 6.300, kini turun menjadi Rp 4.400 hingga Rp 5.200 saja.

Di sisi lain, kata dia, mulai awal tahun ini pemerintah justru akan mencabut pemberian subsidi benih yang potensial menaikan harga benih di tingkat petani.

Akumulasi semua persoalan ini bisa memberikan pukulan dua kali bagi petani. Di sisi input mereka kini terancam mengeluarkan ongkos lebih mahal, sementara di sisi output harga hasil produksi mereka justru jatuh.

“Sekadar diketahui, mulai tahun ini pemerintah memang akan mengganti sistem subsidi benih menjadi program pemberian benih gratis. Dari sisi anggaran memang tidak banyak berubah, anggarannya tetap sekitar Rp1 triliun, namun implikasinya bisa jauh berbeda. Tidak akan ada lagi benih murah di pasar. Apalagi, dari sekitar 17 juta hektar lahan padi yang kita miliki, pemberian benih gratis hanya akan mencakup 3 juta hektar lahan padi saja. Bisa dipastikan, kondisi ini akan membuat ongkos produksi petani semakin melonjak,” jelas Fadli.

Dia berharap pemerintah ikut menolong petani. Melalui Bulog, pemerintah seharusnya bisa membeli gabah petani pada tingkat harga komersial, agar petani kita tidak semakin mengalami demoralisasi dengan profesinya.

Untuk itu, Fadli menegaskan, pemerintah perlu segera mengembalikan fungsi Bulog seperti dulu, sebagai badan pangan strategis, sebelum fungsi itu dipreteli oleh IMF pada 1998.

“Letter of Intent (LoI) dengan IMF pada 1998 memang telah menjadi biang keladi munculnya kartel dalam industri pangan, karena sejumlah komoditas strategis tata niaganya diserahkan kepada mekanisme pasar. Coba bayangkan, sejak itu bea impor produk pertanian baik pangan maupun non-pangan menjadi tinggal nol dan lima persen. Akibatnya, LoI telah mengubah orientasi kebijakan pemerintah dari sebelumnya berorientasi swasembada menjadi berorientasi impor pangan,” tegasnya.

Jadi, kalau mau jujur, kata dia, penyebab turunnya produktivitas pertanian dan meningkatnya defisit neraca perdagangan untuk pertanian adalah kebijakan tata niaga pasca-LoI IMF itu. Kebijakan tata niaga tidak lagi menghiraukan nasib petani ataupun memberi perlindungan terhadap sektor pertanian dalam negeri. Akibatnya, Bulog tidak mampu lagi menjaga mekanisme pasar, harga atas, manajemen stok, dan harga dasar. Resep LoI yang dimintakan IMF kepada Indonesia menjadi gerbang pembuka rusaknya tata niaga pangan.

Jika pemerintah memang benar-benar serius ingin berswasembada pangan, seharusnya mereka segera merevitalisasi fungsi Bulog. Bila perlu, pemerintah juga mengaktifkan kembali Menteri Negara Urusan Pangan. Sebab, selama ini Kementerian Pertanian posisinya sangat tanggung, karena semua urusan tata niaga pangan dipegang oleh Kementerian Perdagangan.

“Tanpa ada revitalisasi Bulog, atau pengaturan kebijakan pangan di tangan satu kementerian, saya kira semua wacana tentang swasembada pangan hanya akan jadi omong kosong saja. Pemerintah akan kesulitan untuk menolong petani sendiri,” ujar Fadli.(faz/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
28o
Kurs