Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (14/2/2018), mengumumkan status Fayakhun Andriadi Anggota DPR RI sebagai tersangka kasus korupsi proyek satelit pemantau di Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Penetapan status hukum itu dilakukan sesudah KPK menemukan bukti-bukti keterlibatan politisi Partai Golkar tersebut, dalam proyek yang awalnya beranggaran Rp1,2 triliun, lalu direvisi menjadi Rp220 miliar.
Berdasarkan data dan informasi persidangan terdakwa lain di Pengadilan Tipikor Jakarta, Fayakun diduga menerima fee sebanyak 1 persen dari total anggaran awal proyek di Bakamla tersebut, atau senilai Rp12 miliar.
Fayakun yang duduk di Komisi I dan Badan Anggaran DPR juga diduga pernah menerima uang sejumlah 300 ribu Dollar AS, sehubungan dengan proyek tersebut.
Uang suap itu disinyalir jatah Fayakhun yang berupaya meloloskan anggaran proyek satelit pemantau, dalam pembahasan APBN Perubahan tahun 2016.
“FA selaku Anggota DPR RI diduga menerima hadiah atau janji untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, terkait proses pembahasan dan pengesahan RKA-KL dalam APBN Perubahan tahun 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla RI,” kata Alexander Marwata Wakil Ketua KPK, dalam keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (14/2/2018).
Sekadar diketahui, Fayakhun adalah tersangka keenam dari unsur sipil, dalam kasus korupsi proyek satelit pemantau Bakamla.
Kasus itu berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Eko Susilo Hadi Sekretaris Utama Bakamla, Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta pegawai swasta yang dilakukan KPK, 14 Desember 2016.
Sesudah melakukan pemeriksaan, KPK menetapkan ketiga orang tersebut, serta Fahmi Darmawansyah Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia sebagai tersangka.
Keempat orang itu sudah dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, dan masing-masing mendapat vonis pidana penjara serta kewajiban membayar denda.
Dari pengembangan penyidikan, KPK menetapkan tersangka kelima yaitu Nofel Hasan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla, yang sekarang masih proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Terkait kasus korupsi itu, Pengadilan Tinggi Militer Jakarta, Rabu (20/12/2017), memvonis 4,5 tahun penjara serta denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan buat Laksamana Pertama TNI Bambang Udoyo.
Selain harus mendekam di penjara dan membayar denda, Bambang yang terbukti bersalah terlibat korupsi juga dipecat dari kesatuan TNI Angkatan Laut.(rid/dwi/rst)