Sabtu, 23 November 2024

Mengenal Kampoeng Kepiting yang Sukses Naikkan Pendapatan Nelayan

Laporan oleh Anggi Widya Permani
Bagikan
Kampoeng Kepiting-Ekowisata, di Jalan By Pass Ngurah Rai, Bali. Foto: Anggi suarasurabaya.net

Selain mengenalkan proyek tahun ini, serangkaian kegiatan media gathering Pertamina Group area Jatimbalinus, Pertamina juga mengenalkan salah satu Program CSR Kampoeng Kepiting-Ekowisata, di Jalan By Pass Ngurah Rai, Bali, Kamis (20/2/2018).

Program CSR merupakan program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan. Salah satunya masyarakat di kawasan pesisir pantai, yang seringkali dikaitkan dengan kondisi perekonomian pas-pasan, bahkan terbilang cukup kurang.

Made Sumase Ketua Kelompok Nelayan Wanasari mengatakan sebelumnya masyarakat sekitar lokasi hanya mengandalkan penghasilan dari menjadi nelayan yang menangkap ikan saja. Namun berkat sentuhan Program CSR dari Pertamina pada tahun 2010-2014, masyarakat bisa berpenghasilan lebih dari sebelumnya, dengan mengembangkan pelestarian hutan mangrove, budidaya biota mangrove sekaligus menggiatkan ekowisata mangrove.

“Sejak 2014, kami berlanjut secara mandiri dengan memberdayakan masyarakat. Kami bisa berpenghasilan lebih banyak dari sebelumnya sekaligus bisa memperkerjakan nelayan-nelayan lainnya, sebanyak 45 orang. Berkat program ini, kami juga sadar akan lingkungan. Dulu sebelum dibangun ekowisata, masyarakat sekitar sering mengambil tanaman mangrove yang kecil untuk tanaman ternak. Tapi sekarang kesadaran masyarakat sudah ada. Kami punya aturan bahwa, menebang satu pohon, harus merawat 10 pohon,” kata Made.

Dengan program itu, Made bersama nelayan lainnya berhasil melakukan inovasi, sehingga terciptanya Kampoeng Kepiting, yang bukan sekadar tempat kuliner tapi juga sebagai ekowisata yang menarik.

“Semoga usaha kami ini berdampak luas baik secara sosial maupun ekonomi dan bisa dikembangkan ditempat lain atau dijadikan daerah percontohan,” kata dia.

Selain bisa menikmati berbagai olahan bahari seperti kepiting, ikan dan udang, kata Made, pengunjung juga bisa menikmati tanaman mangrove yang diolah menjadi beberapa makanan dan minuman jus, seperti cokelat mangrove, tepung, sirup, keripik dan inovasi yang lainnya.

Dari sisi kuliner, Made mengatakan jumlah pengunjung domestik dan mancanegara sekitar 4.000 orang per bulan, sementara dari sisi pariwisatanya masih tergolong rendah yaitu sekitar 1.000 orang per bulan.

“Kami akan terus melakukan inovasi, agar Badung termasuk tujuan wisata baru, yaitu tour mangrove,” tambahnya.

Terkait pemberian nama Kampoeng Kepiting, Made menjelaskan bahwa hal itu terobsesi oleh Desa Sangeh atau Desa Monyet, sebuah tempat wisata yang terdapat banyak monyet. Menurutnya, ia harus menciptakan sesuatu yang bisa membranding, yaitu melalui nama biota laut. “Jadi kita pilih lah, kepiting. Karena di Bali belum ada Kampoeng Kepiting,” tambahnya.

Sesuai dengan namanya, lanjut Made, Kampoeng Kepiting lebih menonjolkan menu kepiting. Dalam sehari, ada sekitar 30 kilogram atau sekitar 90 ekor kepiting yang dimasak.

“Itu konsep kami. Kami hanya memasak 30kg saja per hari. Tidak pernah lebih. Sekitar 90 ekor. Kalau habis, pengunjung bisa menikmati seafood lainnya. Karena kami harus menjaga kesinambungan yang dibudidayakan. Kami menjaga stok, agar setiap hari ada. Bukan sekadar mencari keuntungan saja, tapi kami tidak mau alam kami menjadi rusak,” pungkasnya. (ang/iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs