Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam laporan hasil penelitian selama dua tahun bertajuk An Agenda for Water Action menyatakan, 700 juta orang di seluruh dunia bakal menderita karena kelangkaan air parah 2030 mendatang. Hasil laporan itu menunjukkan, saat ini sudah ada 40 persen populasi di dunia mengalami kelangkaan air.
Dan Shepard Juru Bicara Departemen Informasi Publik PBB menyatakan, ada banyak masalah tentang air. Misalnya, kekeringan parah akibat perubahan iklim yang dialami masyarakat di Afrika Selatan.
Cape Town, sebuah kota di Afrika Selatan yang akan menjadi kota besar pertama mengalami krisis air berhasil mencegah Day Zero (Hari Nol), di mana keran-keran air akan kering. Namun, upaya konservatif oleh otoritas Afrika Selatan itu hanya mampu menunda Day Zero yang tadinya diperkirakan terjadi April 2018 ini menjadi 2019 mendatang.
Cyril Ramaphosa Presiden Afrika Selatan menyerukan agar dunia mengambil kesempatan untuk mengubah situasi saat ini. “Kita punya satu kesempatan untuk mengubah situasi air dengan bertindak untuk masa depan yang menjanjikan, dunia yang lebih baik, yang tidak akan melihat tetesan air terakhir,” kata Ramaphosa.
Di Indonesia, 2017 lalu, Sutopo Purwo Nugroho Dosen Ilmu Lingkungan Hidup Universitas Indonesia (UI) sekaligus Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, berdasarkan penelitan, sudah hampir 20 tahun daerah di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara defisit air.
Sutopo merujuk pada studi neraca air Kementerian Pekerjaan Umum (PU) 1995 silam, yang mana selama musim kemarau, daerah-daerah itu kekurangan air selama tujuh bulan. Hasil penelitian 2003 lalu hampir mirip. Dari total kebutuhan air 83,4 miliar meter kubik di Jawa dan Bali pada musim kemarau, hanya 25,3 miliar kubik yang terpenuhi, atau hanya sekitar 66 persennya saja.
Hasil studi Bappenas pada 2007, sebanyak 77 persen kabupaten/kota di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara mengalami satu hingga delapan bulan defisit air selama setahun. Menurut hasil penelitian yang berbeda, jumlah daerah defisit air diperkirakan meningkat hingga 78,4 persen pada 2025 mendatang.
Ketersediaan air, kata Sutopo, dia perkirakan tidak mampu memenuhi kebutuhan air untuk penduduk di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Pada 2017 terdata, lebih dari 3,9 juta jiwa masyarakat di 2.726 desa di 715 kecamatan dan 105 kabupaten/kota di Jawa dan Nusa Tenggara mengalami kekeringan. Sebagian besar di antaranya mengalami kekeringan setiap tahun.
Saat ini, di Jawa Timur, rantai siklus hidrologi disebut-sebut oleh para pemerhati lingkungan banyak yang terputus akibat alih fungsi kawasan hutan di daerah hulu menjadi lahan pertanian maupun perkebunan. Siklus hidrologi, dari sinar matahari ke bumi, mengakibatkan evaporasi (penguapan) air laut maupun air pada tumbuhan menjadi hujan.
Seharusnya, air hujan yang juga membasahi kawasan hutan disimpan oleh pepohonan melalui sistem perakaran sehingga sumber-sumber mata air yang ada tetap memancar. Tapi karena fungsi hutan sudah banyak yang beralih menjadi kebun, pertanian, bahkan menjadi kawasan vila estate, maka curah hujan tidak bisa ditangkap dengan baik oleh hutan.
Satrijo Wiweko Pemerhati Lingkungan dari Komunitas Sahabat Lingkungan mengatakan, terputusnya rantai siklus hidrologi ini menjadikan sumber air yang seharusnya mengalir semakin mengecil, lambat laun mati, pada akhirnya benar-benar hilang. Kalau ini terus terjadi, bisa dipastikan semakin banyak daerah mengalami kekeringan di musim kemarau.
Dampak hilangnya sumber mata air mungkin tidak langsung dirasakan oleh masyarakat. Alih fungsi lahan hutan, apalagi hutan konservasi di Jawa Timur, akan menimbulkan dampak langsung bagi masyarakat bila air yang tidak tertampung oleh hutan itu mengakibatkan erosi dan banjir bandang.
Beberapa waktu belakangan, kata pria yang akrab disapa Koko, masyarakat Jawa Timur sudah menyaksikan bagaimana banjir bandang melanda Pacitan, Trenggalek, Jombang, dan Jember.
Seharusnya, kata dia, kawasan dengan kemiringan 40 persen ke atas tidak cocok menjadi kawasan pertanian ataupun menjadi kawasan vila estate. Alih fungsi seperti itu sudah banyak ditemukan di beberapa daerah di Jawa Timur, misalnya di kawasan Mojokerto.
“Bukan hanya di Mojokerto, termasuk di kawasan Tretes, Pasuruan, Prigen, serta kawasan dekat taman safari. Bahkan di kawasan Batu ada kawasan tangkapan air yang sudah menjadi milik pribadi. Karena sudah jadi milik pribadi, ya semaunya pemiliknya,” katanya kepada suarasurabaya.net, Rabu (21/3/2018).
Lahan konservasi hutan yang sudah menjadi milik pribadi itu diubah menjadi kebun kentang, kebun wortel, padahal kemiringan dan ketinggian lahan itu 45 derajat dan hampir 1600 meter dari permukaan laut. Seharusnya, lahan itu menjadi kawasan konservasi hutan.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Konsorsium Lingkungan Hidup (KLH) mencatat, pada 2016 lalu Pemerintah Provinsi Jawa Timur pernah merilis data bahwa sumber mata air di area konservasi Bumiaji, Kota Batu, berkurang drastis. Dari data beberapa tahun sebelumnya sebanyak 102 titik sumber mata air, dua tahun lalu yang tersisa hanya 57 titik.
Imam Rohani Ketua KLH Surabaya mengatakan, bisa saja jumlah mata air di Bumiaji, Kota Batu terus berkurang. “Apalagi kalau perilaku masyarakat mengalih fungsi lahan hutan ini tidak berubah,” katanya. Dia percaya, apa yang dikatakan Sutopo bisa terjadi, bahkan sebelum 2025 bila perilaku masyarakat tidak berubah.
Dampak bencana akibat alih fungsi lahan selain yang terjadi di Pacitan atau di Trenggalek, juga terjadi di daerah seperti Bondowoso yang hutannya banyak dibabat. Dampaknya di Situbondo, setiap tahun selalu banjir bandang. Begitu juga di Pasuruan, daerah Bangil dan Kraton sering dilanda banjir bandang karena lereng Gunung Arjuna di Lawang rusak.
Itu di daerah hulu. Di kawasan hilir, perilaku masyarakat juga mengubah fungsi sungai. Satrijo Wiweko mengatakan, kalau sebelumnya air hujan bisa ditampung sungai, sekarang sungai sudah menjadi lahan pembuangan sampah. Akibatnya, sampah-sampah yang menyumbat saluran menyebabkan banjir.
“Sampah-sampah yang bisa terus mengalir, dampaknya ke laut. Laut kita menjadi penuh sampah. Seperti yang beberapa hari lalu diviralkan di Kuta. Inilah yang ditemukan oleh Jambeck dalam penelitiannya 2015 lalu, sehingga Indonesia dicap sebagai negara kedua pembuang sampah terbesar di dunia,” katanya.
Kualitas Air Merosot
Jawa Timur memiliki tujuh wilayah sungai. Wilayah sungai Brantas, Bengawan Solo, Bendoyudo, Sampeyan, Bajulmati, Madura, dan Welang Rejoso. Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas memiliki area tangkapan yang paling luas, yakni sebanyak 13.880 kilometer persegi yang mengalir di 17 kabupaten/kota di Jawa Timur.
Total Penduduk yang berada di DAS Brantas hampir 50 persen dari total penduduk di Jawa Timur yang pada 2016 lalu sebanyak lebih dari 38 juta jiwa. Jumlahnya mencapai hampir 19 juta jiwa. Ini yang menjadi satu di antara faktor penurunan indeks kualitas air (IKA) sungai brantas, dari 49,17 pada 2015 menjadi 47,68 pada 2016.
Data yang dihimpun Dinas Lingkungan Hidup pada 2016 lalu itu menunjukkan, kualitas air di DAS Brantas menjadi yang paling buruk dibandingkan wilayah sungai lainnya. Hampir mirip dengan kondisi di DAS Bengawan Solo yang dengan IKA sebesar 48,75. Keduanya berada dalam kondisi waspada.
Penyebabnya adalah limbah. Ada dua sumber limbah yang mencemari tujuh sungai di Jawa Timur: limbah domestik dan limbah industri. Kedua jenis limbah ini terutama sudah banyak mencemari DAS Brantas dan DAS Bengawan Solo. LSM Konsorsium Lingkungan Hidup (KLH) mengkategorikan, DAS Brantas lebih banyak dicemari limbah domestik, sedangkan DAS Bengawan Solo lebih banyak dicemari limbah industri.
Imam Rohani Ketua LSM KLH mengatakan, pada 2010 silam LSM-nya pernah mendata kebutuhan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) komunal untuk masyarakat yang tinggal di bantaran sungai Brantas sehingga limbah domestik tidak lagi mencemari sungai. Saat itu KLH merumuskan, kebutuhan IPAL Komunal di DAS Brantas sebanyak 98 titik.
“Masing-masing titik IPAL komunal itu kami perkirakan bisa untuk mengolah limbah domestik dari 40 rumah yang ada di sekitarnya. Sekarang ini IPAL komunal sebagian sudah difasilitasi oleh DLH Jatim dan dari hasil dengan perusahaan-perusahaan. Tapi yang sudah terbangun hanya 19 titik. Ya, memang IPAL komunal itu mahal,” kata Imam.
Dyah Susilowati Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur mengatakan, DAS Brantas memang menjadi perhatian untuk ditingkatkan kualitas airnya. Salah satunya dengan membangun IPAL komunal di wilayah bantaran sungai itu. Dia mengatakan IPAL komunal yang telah dibangun pemerintah sudah sekitar 22 titik.
“Selain itu, kami juga sedang melakukan identifikasi industri kecil menengah yang ada di kawasan DAS Brantas. Seperti industri tahu, juga bengkel dan cuci motor, agar kami memfasilitasi dengan teknologi IPAL yang tepat guna sebagai treatment. Jadi itu berupa pretreatment untuk IKM
, sebab limbah industri kecil ini yang sulit kita bendung,” katanya.
DLH Provinsi Jawa Timur menargetkan hingga 2019 mendatang sudah ada 40 titik IKM yang akan telah memiliki IPAL pretreatment. Perlakuannya berbeda dengan IPAL komunal yang bisa dimanfaatkan oleh banyak rumah sekaligus, IPAL IKM pretreatment ini akan menyesuaikan kebutuhan IKM.
DLH Jatim juga mengimbau agar masing-masing pemerintah kabupaten/kota bisa melakukan pemantauan dan pengawasan serta bila memungkinkan memfasilitasi pembangunan pre-treatment untuk IKM di wilayah masing-masing. Tujuannya, agar potensi pencemaran sungai baik melalui limbah domestik dan industri bisa dikurangi.
Secara keseluruhan, IKA di tujuh sungai di Jawa Timur sebesar 50,75 pada 2016. Indeks ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang ada di angka 52,51 yang termasuk dalam kategori “sangat kurang.” Karena itulah, Pemprov Jawa Timur juga melakukan kontrol terhadap pelaku usaha yang ada di DAS Sungai di Jawa Timur.
Monitoring kualitas limbah dilakukan terhadap 159 industri di Jawa Timur. Pemprov Jatim juga melakukan penegakan hukum terhadap industri yang belum memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 32/2009, menerapkan sanksi pidana bagi tujuh industri dan merekomendasikan sanksi administrasi terhadap tiga industri pelanggar ketentuan.
Gerakan Menabung Air
Beberapa elemen masyarakat di bidang lingkungan telah melakukan banyak pendampingan terhadap masyarakat, baik di kawasan hulu maupun di kawasan hilir. Komunitas Sahabat Lingkungan yang digawangi oleh Satrijo Wiweko fokus pada pendampingan masyarakat di kawasan hulu.
Sahabat Lingkungan melakukan pembinaan di beberapa desa di Trawas, Pacet, Malang dengan aksi-aksi kecil nyata yakni dengan melakukan penghijauan, membuat hutan sekolah di Pacet, Trawas, dan Sendi, serta memberikan pendampingan pembuatan sumur injeksi di Kabupaten dan Kota Malang.
Sahabat lingkungan juga sempat mendampingi warga di kawasan perkotaan. Koko mengatakan, komunitasnya telah memberikan cukup banyak materi bagi masyarakat perkotaan agar mengenal konsep biopori dan menabung air. Gerakan menabung air, kata Koko, bila dilakukan akan mampu menjamin keberlangsungan air.
Menabung air, sebagaimana dijelaskan oleh Koko, yakni dengan menampung air-air hujan yang biasanya jatuh ke genting kemudian lalu ke selokan. Air hujan ini ditampung dengan talang-talang, kemudian dimasukkan ke tangki-tangki besar yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk menyiram tanaman, mencuci piring, ataupun bisa juga dipakai untuk mencuci kendaraan di musim kemarau.
Termasuk bagian dari gerakan air adalah menyadarkan kembali warga agar melakukan hal-hal kecil untuk penghematan penggunaan air. Misalnya, kalau biasanya seseorang mandi dengan gayung yang besar, bisa diganti, misalnya, dengan menggunakan shower.
“Kalau kita gosok gigi, kita harus memastikan jangan sampai airnya mengucur terus. Termasuk air cucian piring dan baju, ini bisa diolah lagi dengan IPAL domestik yang sederhana kemudian hasilnya air itu bisa dimanfaatkan kembali untuk budidaya ikan maupun untuk menyiram tanaman,” katanya.
Sementara LSM Konsorsium Lingkungan Hidup (KLH) Surabaya lebih banyak melakukan pendampingan di kawasan hilir, terutama di kawasan DAS Brantas dan Bengawan Solo. Imam Rohani, ketua LSM KLH mengatakan, sudah tidak sedikit industri di DAS Brantas maupun DAS Bengawan Solo yang sudah dipidanakan oleh mereka.
Sementara untuk pendampingan masyarakat, KLH telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya dengan mengolah limbah organik di sungai seperti enceng gondok di Omah Sampah, rumah pengolahan sampah menjadi pupuk cair maupun pupuk organik. Sedangkan limbah anorganik seperti plastik dan lain-lain yang bernilai jual, akan dialirkan melalui bank sampah.
“Untuk bank sampah itu, kami melibatkan ibu-ibu PKK setempat,” kata Imam. “Kami juga sudah melakukan pendampingan, seperti terhadap masyarakat bantaran sungai di Karang Pilang RT 02 RW 01 yang akhirnya berinisiatif mengubah rumahnya menghadap ke sungai dan berjanji menjaga sungai.”
Keberlangsungan air memang sudah menjadi tanggung jawab semua masyarakat yang menikmatinya. Tidak hanya menjadi tugas pemerintah. Sudah saatnya masyarakat Indonesia dan Jawa Timur pada khususnya membuka mata. Karena bila tidak, bisa saja kita bernasib sama dengan Cape Town, Afrika Selatan.(den)