Dokter Alia mantan pelaksana tugas Manajer Pelayanan Medis RS Medika Permata Hijau, hari ini menjadi saksi sidang perkara dugaan merintangi pengusutan tindak pidana korupsi, dengan terdakwa Dokter Bimanesh Sutarjo.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, saksi mengungkapkan ada permintaan terdakwa supaya rumah sakit langsung merawat inap Setya Novanto, dengan diagnosa antara lain hipertensi berat dan gangguan jantung.
Kemudian, Fredrich Yunadi pengacara secara khusus meminta Novanto yang diklaim sebagai pasien Dokter Bimanesh, ditangani oleh perawat berpengalaman.
Kata Dokter Alia, waktu kejadian perkara, Kamis (16/11/2017), ada seorang perawat senior bernama Indri Astuti yang baru lepas piket, dan bersedia merawat Novanto dengan bayaran lembur Rp800 ribu.
Dokter Alia menambahkan, ongkos lemburan buat perawat senior itu seharusnya langsung dibayar oleh pihak keluarga pasien. Tapi, sampai Novanto keluar rumah sakit, tidak ada yang membayar jasa si perawat.
Bahkan, Dokter Bimanesh tidak mau menanggung uang lemburan itu. Akhirnya, Dokter Alia dan rekannya mengeluarkan uang pribadi untuk membayar lemburan Suster Indri.
“Hari Jumat (17/11/2018), perawat Indri menanyakan uang lemburnya, tapi ternyata belum dibayar pihak keluarga pasien (Novanto). lalu rekan saya Merry Pakpahan dan sesama perawat menggunakan uang pribadinya untuk menalangi uang lembur perawat Indri. Kami lalu curhat ke Dokter Bimanesh, dan Dokter Bimanesh menjawab; masa uang itu saya yang ganti?” ujarnya di Ruang Sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (26/3/2018).
Sekadar diketahui, KPK menetapkan Dokter Bimanesh Sutarjo sebagai tersangka karena diduga bekerja sama dengan Fredrich Yunadi, memasukkan Setya Novanto ke RS Medika Permata Hijau, Kamis (16/11/2017).
Dua orang tersebut diduga memanipulasi data medis Novanto yang waktu itu berstatus tersangka kasus korupsi proyek KTP Elektronik, supaya bisa menjalani rawat inap, dan lolos dari pemeriksaan KPK.
Atas perbuatannya, Bimanesh dan Fredrich disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman hukuman paling singkat tiga tahun penjara, dan maksimal 12 tahun penjara. (rid/iss/ipg)