Beberapa anggota Komisi III menanyakan kepada Muhammad Prasetyo Jaksa Agung soal lambatnya terpidana mati narkoba di eksekusi. Ini terungkap dalam rapat kerja antara Komisi III dengan Jaksa Agung.
Satu diantara anggota Komisi III yang menanyakan mengapa Jaksa Agung selalu menunda-nunda eksekusi mati adalah Adies Kadir dari fraksi partai Golkar.
“Kami ingin menanyakan alasan daripada pak Jaksa Agung menunda-nunda eksekusi mati terkait bandar narkoba,” tanya Adies Kadir dalam rapat kerja dengan Jaksa Agung di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (28/3/2018).
Sementara Prasetyo menjelaskan, pihaknya mengalami kendala dalam mengeksekusi terpidana mati narkoba karena aspek yuridis. Aspek tersebut berupa keputusan Mahkamah Konstitusi soal grasi dan pengajuan PK.
“Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan kalau pengajuan Grasi tidak lagi dibatasi. Kemudian untuk Peninjauan Kembali (PK) juga bisa diajukan lebih dari satu kali,” ujar Prasetyo di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (28/3/2018).
Hal itulah, kata Jaksa Agung, yang membuat eksekusi terhadap terpidana mati narkoba menjadi lambat.
Dia menegaskan, sebenarnya eksekusi mati itu bisa segera dilakukan kalau aspek yuridisnya sudah terpenuhi semua.
“Kalau sudah terpenuhi semua aspek yuridisnya, ya kita tinggal tembak saja, sesuai tata cara di negara kita,” tegas Prasetyo.
Dia juga mengaku geregetan karena kapanpun kalau bisa dieksekusi, pasti dia akan mengeksekusi. Prasetyo kemudian menegaskan kalau selama menjadi Jaksa Agung, sudah 18 orang terpidana yang dieksekusi mati.
Dengan adanya keputusan MK tersebut, maka para terpidana mati itu bisa mengulur-ulur waktu dengan memanfaatkan dinamika hukum yang ada.
Hal lain yang sering muncul ketika Kejaksaan Agung akan mengeksekusi mati, kata Prasetyo, munculnya komentar-komentar kritikan dari pihak-pihak tertentu.
“Para pengkritik ini kan biasa berkomentar kalau kita akan mengeksekusi mati. Mereka selalu bilang kalau di negara-negara lain hukuman mati sudaj tidak ada,” pungkas Prasetyo.(faz/dwi)