Yasonna Loaly Menteri Hukum dan HAM menyebutkan, peningkatan jumlah tahanan di Indonesia tidak sebanding dengan penambahan jumlah kamar tahanan yang bisa dilakukan pemerintah.
“Saat saya baru menjabat, jumlah tahanan di Indonesia sekitar 150.000 orang. Tiga tahun menjabat menjadi 230.000 orang. Peningkatan jumlah ini tidak sebanding dengan kamar tahanan yang dibangun,” kata Yasonna saat menjadi narasumber dalam Simposium Nasional Revitalisasi Hukum Pidana Adat dan Kriminologi Kontemporer di Padang, Senin (2/4/2018).
Antara melansir, peningkatan jumlah tahanan selama tiga tahun mencapai 80 ribu orang. Sementara kemampuan pemerintah untuk membangun kamar tahanan hanya untuk 35 ribu orang saja.
“Menambah jumlah penjara bukan perkara mudah. Ada standar yang harus diikuti dan anggarannya juga cukup membebani. Setidaknya butuh Rp 200 miliar untuk satu penjara di luar biaya operasional,” katanya.
Hal itu menyebabkan pemerintah tidak bisa menambah jumlah penjara sesuai jumlah tahanan yang ada. Akibatnya, hampir semua penjara mengalami kelebihan kapasitas.
Jumlah tahanan yang meningkat pesat tidak lepas dari sistem hukum pidana yang dianut Indonesia. Bahkan nenek-nenek yang menebang pohon durian pun juga harus dijatuhi hukuman penjara.
“Sistem ini yang kita upayakan untuk diubah dalam RUU KUHP dengan mengedepankan pendekatan restorative justice, pendekatan ini yang lebih menitik-beratkan pada terciptanya keadilan bagi pelaku,” kata dia.
Prof Dr Romly Atmasasmita SH LLM, Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, mengatakan kepastian hukum sudah berjalan di Indonesia.
Hanya saja terdapat dua tujuan lain yaitu kemanfaatan dan keadilan belum terlaksana maksimal. Pendekatan restorative justice dinilai bisa mewujudkan dua tujuan hukum tersebut.
Perubahan pendekatan hukum pidana tersebut dilakukan dalam RUU KUHP yang sedang dibahas dengan DPR. Diharapkan RUU itu bisa disahkan pada 2018. (ant/tna/ipg)