Muhadjir Effendy Menteri Pendidikan dan Kebudayaan akan mencari pangkal masalah Ujian Nasional (UN) khususnya soal matematika yang dinilai sulit oleh siswa.
“Kami akan segera evaluasi untuk menemukan pangkal masalah UN khususnya soal matematika,” ujar Muhadjir saat dihubungi Antara dari Jakarta, Minggu (15/4/2018).
Dia mengakui bahwa soal matematika untuk UN Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat memang berbeda karena lebih pada matematika terapan.
Seperti dikutip dari Antara, Muhadjir mengakui mulai tahun ini soal yang digunakan membutuhkan daya nalar tinggi atau high order thinking skills (HOTS).
Selain itu, pada tahun ini, untuk pertama kalinya sekitar 10 persen dari soal matematika adalah isian singkat.
Indra Charismiadji Pengamat pendidikan dari Eduspec Indonesia, mengatakan apa yang dilakukan Kemdikbud merupakan langkah berani.
“Saya bilang berani, karena sebagian besar proses pembelajaran belum mampu membangkitkan daya nalar siswa. Sehingga tidak sesuai antara apa yang diajarkan dan soal yang ada di UN,” ujar Indra.
Hal itu juga, kata Indra, menunjukkan bahwa hasil dari Programme for International Student Assessment (PISA) mengenai kualitas pendidikan di Tanah Air masih perlu diperbaiki.
Survei yang dilakukan tiga tahun sekali itu mengukur kemampuan anak berusia 15 tahun dalam membaca, matematika dan sains.
Berdasarkan survei PISA 2015, Indonesia berada pada urutan 66 dari 72 negara untuk kemampuan literasi dengan skor 397. Urutan 65 dari 72 negara untuk kemampuan matematika dengan skor 386 dan urutan 64 untuk sains dengan skor 403.
“Kualitas pendidikan kita harus terus ditingkatkan, jika tidak mau tertinggal dari negara lain. Jika hanya soal saja yang ditingkatkan tapi tidak dengan kualitas pembelajaran, maka sama saja bohong,” imbuh dia.
Disinggung mengenai banyaknya keluhan siswa akan sulitnya soal UN matematika, Indra mengatakan bahwa generasi milenial karakternya memang agak lebih mudah menyerah dalam menghadapi tantangan.
Akan tetapi anak milenial negara lain, diberikan soal-soal HOTS justru tak mengalami masalah.
“Karena anak-anak di negara lain cara berpikirnya sudah tingkat tinggi yang semuanya dimulai dari proses pembelajarannya,” kata Indra. (ant/ino)