Jumat, 22 November 2024

Menangkal Hoaks dengan Jurnalisme Profesional

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Yosep Adi Prasetyo Ketua Dewan Pers saat memberikan materi tentang etik dan profesionalisme jurnalis dalam lokakarya yang digelar AJI, di Surabaya, Jumat (11/5/2018). Foto: Denza suarasurabaya.net

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya menggelar Lokakarya Etik dan Profesionalisme Jurnalis: Profesionalisme Jurnalis Menghadapi Hoax, Jumat (11/5/2018).

Lokakarya ini merupakan bagian dari Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) yang digelar AJI, diikuti kurang lebih 19 jurnalis dari berbagai daerah, di Surabaya, pada 12-13 Mei 2018 mendatang.

Ada dua narasumber utama dalam lokakarya itu. Yosep (Stanley) Adi Prasetyo Ketua Dewan Pers, dan Budi Santoso dari Badan Penguji UKJ AJI. Keduanya memaparkan tentang profesionalisme jurnalis di tengah bahaya hoaks.

Salah satunya, berkaitan tahun politik pada 2018-2019 yang akan menjadi ladang potensial bagi berkembangnya hoaks. Dewan Pers menekankan pentingnya komitmen perusahan media dan jurnalis melawan hoaks sesuai prinsip-prinsip jurnalistik.

“Prinsip-prinsip ini wajib dipegang oleh semua media dan jurnalis dari semua platform,” ujar Ketua Dewan Pers yang akrab disapa Stanley di Hotel Ayola La Lisa, Jalan Ngagel, Surabaya.

Di era teknologi digital ini, kata Stanley, Pola komunikasi telah berubah. Dia mengatakan, bila tidak disertai dengan profesionalisme, jurnalis akan kehilangan peran di era yang banyak bertebaran hoaks ini.

Dahulu, kata Stanley, Presiden melalui para menteri akan mengumpulkan para pemimpin media massa untuk memberikan sebuah keterangan resmi agar pesannya kepada masyarakat tersampaikan.

Di era media sosial ini, Joko Widodo Presiden bisa berkomunikasi secara langsung dengan publik melalui video blog di YouTube, atau melalui cuitan di Twitter tentang semua kegiatannya.

“Lalu di mana peran jurnalis? Ada media-media yang kurang hati-hati sehingga terjebak dalam pola pemberitaan mengulas kegiatan presiden dari pernyataan di media sosial,” katanya.

Padahal, dalam prinsip jurnalistik. Menjadikan pernyataan yang disampaikan narasumber di media sosial, tanpa memverifikasi dan memvalidasi informasi itu, sudah menyalahi prinsip itu sendiri.

Seperti kasus berkaitan Pemilu Presiden 2014 lalu, dipicu cuitan sumpah politik dari akun twitter yang diyakini sebagai akun milik Ahmad Dhani. Sebanyak 17 Media harus meminta maaf kepada penyanyi itu setelah dimediasi oleh Dewan Pers.

“17 media itu terbukti memberitakan ‘sumpah memotong kemaluan itu’ tanpa melakukan prinsip verifikasi. Mereka harus meminta maaf secara langsung kepada Ahmad Dhani, memuat permintaan maaf di media masing-masing, dan memuat hak jawab Ahmad Dhani,” kata Stanley.

Stanley sempat menjelaskan perbedaan antara profesi jurnalis dan praktisi jurnalis. Keduanya, menurut Stanley, sangat berbeda. Dia menganalogikan perbedaan ini dengan bidang profesi lainnya.

Dia menganalogikan dengan profesi dokter gigi dan ahli (tukang) gigi. Dalam melakukan pekerjaannya, keduanya dibedakan dengan standar operasional prosedur (SOP). Dokter Gigi memiliki SOP yang jelas, Tukang Gigi tidak.

“Kita tidak perlu menanyakan berapa ampul obat bius yang disuntikkan oleh dokter gigi, tapi kita akan ragu-ragu dengan obat bius dalam suntikan besar milik si Tukang Gigi. Jangan-jangan itu obat bius untuk kuda,” katanya diikuti tawa para peserta.

Sama halnya dengan jurnalis. Jurnalis profesional, kata Stanley, juga memiliki SOP yang jelas sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik. Prinsip ini kadang diabaikan oleh praktisi jurnalistik yang mungkin bertendensi lain, misalnya untuk memeras narasumber.

Miftah Faridl Ketua AJI Kota Surabaya mengatakan, tema profesionalisme jurnalis dan hoaks sangat relevan diangkat dalam kondisi jurnalisme kekinian yang berhadapan dengan informasi-informasi simpang siur dari berbagai media, khususnya media sosial.

Tak jarang, media massa dan jurnalisnya terjebak pada informasi yang tidak jelas itu.

“Workshop ini menjadi semacam pengantar bagi pelaksanaan Uji kompetensi jurnalis. Saya berharap, kita (jurnalis) meneguhkan diri lagi untuk berkomitmen memberikan informasi-informasi yang akurat kepada masyarakat,” ujar Miftah Faridl.

Lokakarya yang menjadi rangkaian UJK-AJI ini, kata jurnalis CNN Indonesia itu, merupakan bagian dari komitmen meningkatkan kemampuan anggotanya dalam mengolah informasi yang berseliweran di masyarakat.

Sebelumnya, AJI menggelar workshop di berbagai kota dengan menggandeng Google News Initiative untuk melatih para jurnalis dan mahasiswa agar dapat mengidentifikasi berita-berita hoaks.

“Sekali lagi, perang melawan hoaks bukan cuma soal deklarasi yang seremonial. Deklarasi itu harus disertai strategi dan alat yang tepat. Perang melawan hoaks juga butuh komitmen kuat. Mulai dari jurnalis di lapangan, sampai ruang redaksi,” katanya.

Perlu diketahui, workshop ini juga didukung Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia dengan kehadiran Chris Barnes, Konsulat Jenderal Australia di Surabaya, sebagai pembicara tamu.(den/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs