Studi Frost & Sullivan yang diprakarsasi oleh Microsoft mengungkapkan bahwa potensi kerugian ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh insiden keamanan siber dapat mencapai nilai 34,2 miliar dolar AS.
Angka tersebut setara dengan 3,7 persen jumlah total PDB Indonesia yang sebesar 932 miliar dolar AS.
“Ketika berbagai perusahaan kini menyambut peluang-peluang yang ditawarkan oleh komputasi awan dan mobile untuk menjalin hubungan dengan pelanggan dan mengoptimalkan operasi perusahaan, mereka menghadapi resiko-resiko baru,” kata Haris Izmee, Direktur Utama Microsoft Indonesia, dalam keterangan tertulis yang dilansir Antara, Jumat (25/5/2018).
“Perusahaan menghadapi resiko kerugian finansial yang signifikan, dampak buruk pada sisi kepuasan pelanggan, dan penurunan reputasi di pasaran, seperti yang telah terlihat secara jelas pada kasus-kasus serangan tingkat tinggi belakangan ini,” sambung dia.
Selain kerugian finansial, insiden keamanan siber juga mengurangi kemampuan berbagai organisasi di Indonesia untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada diera ekonomi digital saat ini.
Tiga dari lima (61 persen) responden menyatakan bahwa perusahaan mereka telah menunda upaya transformasi digital karena khawatir terhadap risiko-risiko siber.
Namun, transformasi digital akan semakin genting bagi perusahaan dengan diumumkannya rencana kerja “Making Indonesia 4.0” oleh Presiden Joko Widodo dan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia.
Studi yang berjudul “Understanding the Cybersecurity Threat Landscape in Asia Pacific: Securing the Modern Enterprise in a Digital World” itu melibatkan 1.300 pimpinan bisnis dan TI dari organisasi skala menengah (250-499 pekerja) hingga organisasi skala besar (> dari 500 pekerja).
Studi tersebut menunjukkan hampir setengah dari seluruh organisasi yang disurvei di Indonesia telah mengalami insiden keamanan siber (22 persen) atau tidak yakin bahwa telah mengalaminya karena mereka tidak melakukan penelitian dengan benar atau pemeriksaan pembobolan data (27 persen).(ant/iss/ipg)