Senin, 28 April 2025

Pengamat Ingatkan Emas untuk Investasi Jangka Panjang, Jangan FOMO Beli Saat Harga Tinggi

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi emas. Foto: Pixabay

Setidaknya satu bulan terakhir, ramai masyarakat berbondong-bondong membeli emas dengan dalih investasi. Fenomena itu, banyak disebut terjadi karena kekhawatiran masyarakat yang khawatir soal perekonomian global, sehingga menganggap emas sebagai jalan keluar untuk meningkatkan kekayaan dalam jangka pendek.

Namun, Dr. Putu Anom Mahadwartha Pengamat Ekonomi sekaligus Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Surabaya (Ubaya) mengingatkan kalau emas adalah instrumen investasi jangka panjang, bukan untuk jangka pendek.

“Emas itu tidak bisa dibeli kemudian dijual dalam jangka waktu pendek. Karena dia adalah instrumen jangka panjang. Kalau kita memang berniat pegang emas sebagai salah satu instrumen investasi, setidaknya kita harus pegang lima tahun, sepuluh tahun, lima belas tahun,” kata Putu Anom saat mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (28/4/2025) pagi membahas “Emas atau Perak untuk Investasi.”

Justru, Putu menilai kalau saat ini bukan waktu yang tepat untuk membeli emas, terutama bagi investor baru yang belum pernah berinvestasi di instrumen ini. Pasalnya, tren kenaikan harga emas saat ini sedang tinggi-tingginya.

Berdasarkan data dari harga-emas.org, harga emas Antam pada akhir Januari 2024 lalu masih di kisaran Rp1.140.000 per gram. Sementara melansir laman Logam Mulia, harga emas Antam pada Senin pagi ini mencapai Rp1.960,000 per gram. Kenaikan ini dinilai sudah sangat mahal untuk investor pemula.

“Kalau Anda adalah posisinya orang yang belum punya emas sebagai instrumen investasi, sekarang saat yang tidak terlalu tepat untuk membeli. Karena harganya juga terlalu mahal,” ujarnya.

Lebih lanjut, Pengamat Ekonomi dari Ubaya itu menyebutkan kenaikan harga emas saat ini lebih banyak dipicu oleh over reaksi pasar, utamanya oleh para investor dadakan. “Yang membuat seolah-olah ada antrean cukup panjang di tempat-tempat pembelian emas, membangun satu image bahwa emas itu lagi diburu,” ungkapnya.

Sebaliknya, untuk investor yang sudah lama menyimpan emasnya dengan perolehan harga rendah, Putu menilai saat ini adalah waktu yang tepat mempertimbangkan untuk menjual, bukan membeli.

“Seorang investor yang bisa cuan besar itu adalah orang dengan harga perolehan paling rendah. Nah, ketika harga perolehan rata-rata paling rendah itu menjadi tujuan, maka mereka nggak akan masuk saat ini untuk membeli, kemungkinan mereka akan menjual,” jelasnya.

Hal ini karena dia menilai harga emas dunia bisa menembus 4.000 dolar AS per ounce hingga akhir 2025, namun setelahnya kemungkinan besar akan terjadi penurunan harga.

“Saya rasa mendekati semester dua akan ada penurunan harga emas. Karena orang nggak mungkin akan membeli terus, mereka pasti akan jual,” ujarnya.

Selain itu, Putu Anom juga mengingatkan soal fenomena pembelian emas melalui sertifikat, bukan fisik. Ia menilai ada risiko tersembunyi jika harga sertifikat naik lebih cepat daripada harga fisik emas.

“Kalau harga sertifikat emas itu naik lebih tinggi daripada harga fisiknya, maka investor harus hati-hati. Karena itu namanya nanti bisa jadi ada bubble. Bubble itu seperti gelembung yang bisa pecah,” ujarnya.

Adapun bubble yang dimaksud yakni situasi di mana harga aset atau komoditas meningkat secara drastis dan tidak terduga, melampaui nilai intrinsik atau fundamentalnya.

Ia menegaskan bahwa membeli sertifikat emas memang legal, tetapi berbeda dengan memegang emas fisik. Investor harus memahami benar karakteristik instrumen yang mereka beli. Dampak dari bubble itu sangat luas dan dapat memicu berbagai masalah. Termasuk resesi, inflasi, penurunan investasi, hingga penurunan kepercayaan konsumen.

“Saya cukup concern juga harus berhati-hati melihat itu supaya tidak FOMO kemudian untuk membeli emas dengan sertifikat, tapi harga sertifikatnya bisa lebih mahal dibandingkan harga fisiknya,” tambahnya.

Potensi Berinvestasi ke Perak

Dalam kesempatan itu, Putu juga menyinggung peluang investasi di lewat instrumen perak. Menurutnya, harga perak juga punya potensi naik seiring meningkatnya kebutuhan industri, terutama di sektor elektronik.

“Kalau barang-barang China masuk ke Indonesia, mereka butuh perak untuk produksi barang elektronik. Sehingga ada kemungkinan harga perak naik,” kata dia.

Namun ia kembali menegaskan bahwa karakteristik perak beda dengan emas. Ini karena perak lebih berhubungan dengan kebutuhan industri, bukan instrumen safe haven murni seperti emas. Sehingga orang yang berinvestasi pada perak haruslah sabar.

“Kalau kita bicara perak itu pergerakannya berbasis pada gerakan dari sektor industri. Jadi agak berbeda ya. Kalau emas itu memang pure sebagai investasi,” jelas Putu.

Tapi meskipun harga perak saat ini relatif murah, ia mengingatkan bahwa volatilitas perak bisa lebih tinggi daripada emas di masa mendatang.

“Kalau perak itu, dia (harganya–red) bisa naik hampir 100 persen dalam waktu singkat. Tapi kenaikan turunnya itu memang tidak bertumpu pada investasi, tapi pada kebutuhan produksi,” pungkasnya. (bil/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Avanza Terbalik Usai Tabrak 2 Mobil Parkir

Mobil Terbakar Habis di KM 750 Tol Sidoarjo arah Waru

Kecelakaan Dua Truk di KM 751.400 Tol Sidoarjo arah Waru

BMW Tabrak Tiga Motor, Dua Tewas

Surabaya
Senin, 28 April 2025
30o
Kurs