Fadli Zon Wakil Ketua DPR RI mengkritik terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2018 mengenai besaran gaji yang diterima para pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Menurutnya, tidak sepantasnya sebuah lembaga non-struktural seperti BPIP diberi standar gaji mirip BUMN, yang melebihi standar gaji di lembaga-lembaga tinggi kenegaraan.
“Perpres itu menunjukkan betapa borosnya pihak Istana dalam mengelola anggaran, sekaligus membuktikan inkonsistensi mereka terhadap agenda reformasi birokrasi yang selama ini selalu didengung-dengungkan,” Fadli dalam pesan singkatnya, Senin (28/5/2018).
Sekadar diketahui, berdasarkan Perpres tersebut, besaran gaji yang diberikan mulai dari Rp 19.500.000 hingga Rp 112.548.000.
Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP memperoleh gaji sebesar Rp 112.548.000.
Sementara itu, anggota Dewan Pengarah mendapat gaji senilai Rp 100.811.000
Terdapat delapan orang yang menjadi anggota Dewan Pengarah BPIP, diantaranya Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma’aruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya.
Sedangkan Yudi Latief yang menjabat sebagai Kepala BPIP mendapat gaji sebesar Rp 76.500.000.
Menurut Fadli, di tengah keprihatinan perekonomian nasional, pemerintah malah menghambur-hamburkan anggaran untuk sebuah lembaga ad hoc.
Fadli mencatat, setidaknya ada empat cacat serius yang terkandung dalam Perpres tersebut.
Pertama, dari sisi logika manajemen. Di lembaga manapun, baik di pemerintahan maupun swasta, gaji direksi atau eksekutif itu pasti selalu lebih besar daripada gaji komisaris, meskipun komisaris adalah wakil pemegang saham.
“Beban kerja terbesar memang ada di direksi atau eksekutif. Struktur gaji di BPIP ini menurut dia, aneh. Bagaimana bisa, gaji ketua dewan pengarahnya lebih besar dari gaji kepala badannya sendiri? Dari mana modelnya?!,” kata Fadli bertanya-tanya.
Fadli menjelaskan, Dewan Pengarah, sesuai dengan namanya, seharusnya lebih berupa anggota kehormatan, atau orang-orang yang dipinjam wibawanya saja. Jadi, mereka seharusnya tidak punya fungsi eksekutif sama sekali. Aneh sekali jika mereka kemudian digaji lebih besar daripada pejabat eksekutif BPIP. Lebih aneh lagi jika mereka semua tidak memberikan penolakan atas struktur gaji yang aneh ini.
“Kedua, kata Fadli, dari sisi etis. Lembaga ini bukan BUMN atau bank sentral yang bisa menghasilkan laba, sehingga gaji pengurusnya pantas dipatok ratusan juta. Ini adalah lembaga non-struktural, kerjanya ad hoc, tapi kenapa kok standar gajinya bisa setinggi langit begitu?” kata Fadli.
Selain itu, Fadli juga menyangkan gaji presiden dan jajarannya yang gajinya tak sebesar BPIP padahal tanggung jawabnya lebih besar.
“Coba Anda bayangkan, gaji presiden, wakil presiden, menteri, dan pimpinan lembaga tinggi negara yang tanggung jawabnya lebih besar saja tidak sebesar itu,” jelas dia.
Ketiga, menurut Fadli, dari sisi anggaran dan reformasi birokrasi. Joko Widodo Presiden selalu bicara mengenai pentingnya efisiensi anggaran dan reformasi birokrasi. Itu sebabnya, dalam kurun 2014-2017, ada 23 Lembaga Non Struktural (LNS) berupa badan maupun komisi yang telah dibubarkan pemerintah, mulai dari Dewan Buku Nasional, Komisi Hukum Nasional, Badan Benih Nasional, hingga Badan Pengendalian Bimbingan Massal (Bimas). Tapi, pada saat bersamaan, Presiden justru malah terus menambah lembaga non-struktural baru.
“Sejak 2014 hingga kini, melalui berbagai Perpres, dalam catatan saya Presiden setidaknya telah meneken 9 lembaga non-struktural baru, seperti Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN), hingga BPIP ini. Jumlahnya memang hanya 9, tapi Anda bisa menghitung betapa mahalnya ongkos operasional lembaga-lembaga non-struktural baru yang dibikin Joko Widodo (Jokowi) jika standar gaji pegawainya dibikin tidak masuk akal begitu,” tegasnya.
Dan keempat, kata Fadli, dari sisi tata kelembagaan. Kecenderungan Presiden untuk membuat lembaga baru setingkat kementerian seharusnya diberhentikan, karena bisa overlap dan menimbulkan bentrokan dengan lembaga-lembaga yang telah ada.
Dia menegaskan, dalam wacana mengenai penghidupan kembali Komando Operasi Gabungan (Koopsgab) TNI untuk menangani terorisme, misalnya, bukankah aneh jika Kepala KSP sangat dominan dalam mewacanakan hal-hal semacam itu, padahal itu adalah wilayah pertahanan dan keamanan dimana sudah punya Menteri Pertahanan dan juga Menko Polhukam di situ.
“Mungkin karena yang bersangkutan merasa setingkat menteri, sehingga tidak menyadari jika pernyataan-pernyataannya sudah offside terlalu jauh,” jelasnya.
Jadi, menurut Fadli, Perpres No. 42/2018 seharusnya ditinjau kembali. Jangan sampai cara pemerintah mendesain kelembagaan BPIP, menyusun personalia, dan kini mengatur gaji pejabatnya, justru melahirkan skeptisisme dan sinisme publik. Itu kontra produktif terhadap misi pembinaan ideologi dan Pancasila itu sendiri. Tidak ada ruginya Perpres itu dicabut atau direvisi kembali. Perpres itu sudah melukai perasaan masyarakat yang kini sedang dihimpit kesulitan.
“Dan jika ada keleluasan anggaran, saran saya, lebih baik pemerintah menggunakannya untuk meningkatkan kesejahteraan para pegawai honorer di lingkungan pemerintahan saja. Mereka jauh lebih membutuhkannya daripada para bekas pejabat yang duduk di dalam BPIP,” pungkas Fadli.(faz/tna)