
Rossanto Dwi Handoyo Pakar Ekonomi Internasional dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) mengatakan bahwa negosiasi merupakan solusi terbaik untuk menghadapi kebijakan Donald Trump Presiden Amerika Serikat soal tarif impor 32 persen.
Menurutnya, langkah tersebut harus dijalankan dengan maksimal. Mengingat, Amerika adalah mitra dagang penting, yakni bukan hanya ekspor Indonesia yang tinggi ke Amerika, tetapi Indonesia juga masih memerlukan Amerika di berbagai sektor.
“Harus melihat proporsional bahwa Amerika penting bagi kita, jangan sampai pasar yang sudah ada di Amerika yang labour intensive ini akan hilang. Lakukan diplomasi yang soft agar Amerika bisa menurunkan tarif, kita juga menurunkan tarif untuk Amerika agar dapat memperoleh jalan tengah,” katanya dalam keterangan yang diterima, Jumat (11/4/2025).
Rossanto menjelaskan, tarif impor 32 persen yang dikeluarkan oleh Donald Trump Presiden Amerika Serikat pada sejumlah negara, termasuk Indonesia, menujukkan bahwa AS merasa perdagangan dengan negara lain belum adil.
“Yang mana produk Amerika yang diekspor ke negara lain memiliki tarif tinggi. Hal ini menyebabkan neraca perdagangan Amerika dengan negara lain mengalami defisit setiap tahunnya,” jelasnya.
Sebagai contoh, kata dia, Indonesia tahun lalu mengalami surplus hingga 31 miliar dolar dengan separuh keuntungannya berasal dari Amerika. Hal tersebut, menurutnya tidak sebanding dengan dengan surplus Amerika yang harus membayar tinggi.
“Sehingga kebijakan ini, diharapkan dapat meningkatkan keuntungan Amerika dan pembelian produk domestik,” imbuhnya.
Dengan adanya kebijakan itu, ia mengatakan bahwa harga barang impor dari Indonesia di Amerika akan semakin naik. Kenaikan harga itu, dapat menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar Amerika yang menyebabkan turunnya neraca perdagangan dan surplus Indonesia.
Jika tidak ada upaya yang jelas terkait dengan kebijakan tersebut, maka menurutnya, surplus akan berkurang dan neraca perdagangan Indonesia akan mengalami defisit serta pertumbuhan ekonomi yang menurun.
“Dengan fakta prediksi pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,9 persen, maka GDP akan turun karena Amerika merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor Indonesia,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga menjelaskan bahwa penurunan daya saing produk Indonesia di Amerika, bisa menyebabkan risiko tutupnya industri yang bergerak dalam produksi komoditas ekspor, meningkatkan pengangguran, serta investasi di beberapa sektor ekspor ke Amerika akan turun. Oleh karena itu, negosiasi harus dijalankan dengan maksimal.
“Apabila tidak ditangani dengan baik, maka dampak ekonomi yang ditimbulkan akan semakin besar,” pungkasnya. (ris/faz)