
Pemerintah tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelaksanaan Hukuman Mati sebagai aturan turunan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang mulai berlaku pada 2 Januari 2026 mendatang.
Yusril Ihza Mahendra Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) menyebutkan bahwa RUU ini penting sebagai bagian dari transisi hukum dari KUHP warisan kolonial Belanda menuju KUHP Nasional yang lebih kontekstual dengan kondisi Indonesia saat ini.
“Dalam KUHP Nasional ini, hukuman mati yang dijatuhkan tidak dapat langsung dilaksanakan,” kata Yusril dilansir dari Antara pada Selasa (8/4/2025).
Ia menjelaskan, dalam sistem hukum baru, terpidana mati akan menjalani masa evaluasi selama 10 tahun. Jika selama periode itu mereka dinilai benar-benar bertobat dan menyesali perbuatannya, maka hukuman mati dapat diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup.
“Sebagai pemerintah, kami harus memikirkan bagaimana nasib terpidana mati berdasarkan KUHP Belanda yang sekarang sudah inkrah dengan berlakunya KUHP Nasional tahun depan,” tambah Yusril.
Ketentuan ini berlaku bagi seluruh terpidana mati, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing. RUU Pelaksanaan Hukuman Mati, menurut Yusril, diharapkan memberi kepastian hukum bagi para terpidana, khususnya yang dijatuhi vonis berdasarkan aturan lama.
Sementara itu, Ramoti Samuel Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Muda di Ditjen Peraturan Perundang-undangan (DJPP) Kemenkumham menegaskan, dalam KUHP yang baru, hukuman mati tidak lagi dikategorikan sebagai pidana pokok.
Hukuman mati kini bersifat khusus dan menjadi opsi alternatif terakhir.
“Dalam UU itu disebutkan pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun,” ujar Samuel.
Ia menambahkan, pidana mati hanya akan digunakan jika benar-benar diperlukan, dan akan ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menegaskan sifat khususnya. Ini sejalan dengan Pasal 68 ayat (3) KUHP baru, yang memungkinkan penggantian hukuman mati menjadi hukuman lain jika ada pemberatan pidana atas tindak kejahatan.
Selain itu, Pasal 99 ayat (4) KUHP juga mengatur penundaan pelaksanaan hukuman mati terhadap kelompok rentan, seperti perempuan hamil, ibu menyusui, dan penderita gangguan jiwa.
Dengan hadirnya KUHP baru dan RUU Pelaksanaan Hukuman Mati, pemerintah berharap sistem hukum pidana Indonesia menjadi lebih manusiawi tanpa mengurangi aspek keadilan. (ant/dra/saf/ipg)