
Mohammad Qasim Osmani anggota parlemen Iran, pada Minggu (6/4/2025), menyebut satu-satunya cara non-militer yang dinilai efektif bagi Iran untuk menghadapi ancaman dan keserakahan imperialisme global adalah dengan segera mengembangkan senjata nuklir sebagai alat penangkal.
Sehari sebelumnya, Ahmad Naderi anggota presidium parlemen Iran, menyatakan bahwa ketiadaan kekuatan penangkal yang efektif, termasuk penangkal nuklir membuat Iran rentan terhadap berbagai ancaman serius.
Ia menambahkan bahwa gagasan mengenai penangkal kini kian mendapat dukungan, karena siapa pun Presiden AS yang menjabat, mereka tetap berbicara kepada Teheran sambil terus menyimpan opsi militer di meja perundingan.
Ia juga menekankan bahwa keanggotaan Teheran dalam Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) tanpa adanya jaminan nyata justru bisa melemahkan kemampuan Iran dalam hal penangkalan.
Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan ulang secara serius apakah Iran masih perlu tetap berada dalam traktat tersebut atau bahkan keluar darinya.
“Menghindari konflik militer memang membutuhkan nalar dan logika, tetapi keserakahan imperialisme global tidak memberikan kami jalan lain, kecuali kami memiliki kemampuan untuk menghadapi ancaman dan ketamakan mereka. Satu-satunya solusi adalah kemajuan yang cepat dan tak tergoyahkan menuju pengembangan senjata nuklir sebagai alat penangkal,” ujar Osmani dikutip Antara, Senin (7/4/2025).
“Keahlian nuklir yang telah kami capai dengan segala pengorbanan besar harus dimanfaatkan sepenuhnya, terutama dalam urusan keamanan. Sebab, hari ini, ilmu nuklir harus memungkinkan kami bernegosiasi secara setara,” kata Osmani menekankan.
Pada 7 Maret lalu, Donald Trump Presiden AS mengatakan bahwa ia telah mengirim surat kepada Ayatollah Ali Khamenei Pemimpin Tertinggi Iran, yang berisi tawaran untuk memulai perundingan terkait kesepakatan nuklir baru.
Namun pada 30 Maret, Masoud Pezeshkian Presiden Iran menegaskan bahwa Teheran menolak untuk berdialog langsung dengan Washington, meski tetap terbuka untuk negosiasi melalui pihak ketiga.
Merespons hal itu, Trump kemudian mengancam akan melancarkan “serangan bom seperti yang belum pernah mereka lihat sebelumnya,” dalam wawancara dengan NBC News, jika AS dan Iran gagal mencapai kesepakatan.
Pada 2015, Iran menandatangani kesepakatan nuklir dengan Amerika Serikat, China, Prancis, Jerman, Rusia, Inggris, dan Uni Eropa, yang mewajibkan Teheran mengurangi program nuklir sebagai imbalan atas pencabutan sanksi ekonomi.
Namun, AS menarik diri dari perjanjian tersebut pada 2018 saat masa jabatan pertama Trump dan kembali menjatuhkan sanksi terhadap Iran, yang menyebabkan kesepakatan itu runtuh.
Sebagai tanggapan, Iran menyatakan akan mengurangi komitmennya, termasuk mencabut pembatasan terhadap riset nuklir dan tingkat pengayaan uranium. (ant/nis/bil/ham)