
Terdapat dua pandangan ulama mengenai hak penerima zakat fitrah. Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fitrah diperuntukkan bagi delapan golongan yang disebut dalam Surah at-Taubah ayat 60, seperti fakir, miskin, amil, mualaf, budak, orang berhutang, fisabilillah, dan musafir.
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Innamā ṣadaqātu lilfuqarā’i walmasākīni wal’āmilīna ‘alayhā walmu’allafati qulūbuhum wafī r-riqābi walghārimīna wafī sabīli llāhi wabni as-sabīlī farīdatan min Allāhi; wallāhu ‘alīmun ḥakīm.
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah: 60).
Dilansir dari laman resmi Muhammadiyah, Kamis (13/3/2025), terdapat pendapat yang menyatakan bahwa zakat fitrah hanya diperuntukkan bagi fakir miskin. Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas, yang menyebutkan bahwa zakat fitrah berfungsi sebagai penyucian diri bagi orang yang berpuasa serta sebagai makanan bagi orang miskin.
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
“Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitri sebagai pensucian diri bagi orang yang berpuasa dari perkataan tidak berguna/sia-sia yang jorok/buruk, dan untuk memberikan makan kepada orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (Shalat Id), maka itulah zakat yang diterima (maqbul) dan barangsiapa menunaikannya sesudah salat maka itu termasuk shadaqah.”
Lebih jauh, zakat fitrah tidak sekadar memberi makanan bagi fakir miskin pada hari raya, tetapi juga memiliki fungsi sosial yang lebih luas. Salah satu tujuan zakat adalah mengubah status mustahiq (penerima zakat) menjadi muzakki (pemberi zakat) di masa mendatang.
Artinya, zakat seharusnya tidak hanya bersifat konsumtif, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang yang dapat meningkatkan kesejahteraan penerimanya.
Dalam hal ini, zakat fitrah berperan dalam membangun solidaritas sosial, mengikis kesenjangan ekonomi, dan mempererat hubungan antara si kaya dan si miskin. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Kayakanlah mereka (fakir miskin) pada hari ini (Idul Fitri) agar mereka tidak meminta-minta.”
Namun, praktik penyaluran zakat fitri selama ini masih lebih banyak bersifat konsumtif. Meski demikian, distribusi yang bersifat konsumtif ini belum cukup efektif dalam mengubah status mustahiq menjadi muzakki.
Alquran mengajarkan keseimbangan antara kebutuhan dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Qashash ayat 77 yang mengingatkan agar manusia tidak melupakan bagian dunianya. Demikian pula dalam Surah an-Najm ayat 39 disebutkan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa zakat fitrah seharusnya tidak hanya dikonsumsi, tetapi juga dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup penerimanya.
Selama ini, zakat fitrah lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, sehingga nilai tambahnya tidak berkelanjutan. Akibatnya, kaum fakir tetap berada dalam kemiskinan, tanpa ada perubahan berarti dalam kehidupannya.
Padahal, dengan pola pengelolaan yang lebih baik, zakat fitrah dapat dijadikan modal produktif yang dapat menghasilkan manfaat jangka panjang bagi penerimanya.
Konsep ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah al-Hasyr ayat 18, yang menegaskan pentingnya perencanaan untuk hari esok. Jika zakat fitrah dikelola secara produktif, mustahiq tidak hanya menerima bantuan untuk sehari raya, tetapi juga memiliki peluang untuk meningkatkan taraf hidupnya di masa mendatang.
Dengan demikian, tujuan utama zakat fitrah, yakni mengangkat derajat fakir miskin dan membangun kesejahteraan sosial, dapat benar-benar terwujud. Oleh karena itu, pengelolaan zakat fitri perlu diarahkan pada model yang lebih produktif, bukan hanya sekadar konsumtif.
Atas dasar inilah boleh memodalkan zakat fitrah dengan syarat:
- Seizin fakir miskin, karena itu adalah hak mereka;
- Kebutuhan mereka di hari raya sudah tercukupi dengan sebagian zakat fitri yang diberikan;
- Yang dimodalkan adalah sisanya setelah diberikan kepada fakir miskin. Bentuk usahanya, bisa koperasi, PT atau lainnya;
- Hasil permodalan zakat fitri digunakan untuk kepentingan fakir miskin;
- Pengelolaannya dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya, orang ahli yang dibentuk bersama antara mustahiq, muzakki, dan ulama;
- Pengelola menjamin dan bertanggungjawab terhadap keselamatan permodalan zakat fitri tersebut. (nis/ham)