
Darmaningtyas, pengamat transportasi, menyoroti pentingnya revisi Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) untuk mengatur soal Tunjangan Hari Raya (THR) bagi pengemudi ojek online (ojol).
Darmaningtyas menyatakan bahwa keberadaan ojol yang tidak diatur dengan jelas dalam undang-undang menyebabkan ketidakpastian, baik bagi pengemudi maupun aplikator.
Menurutnya, pada saat penyusunan RUU tahun 2009, muncul perdebatan apakah ojek akan diatur dalam undang-undang atau tidak. Keputusan awal adalah tidak memasukkan ojek dalam undang-undang dengan alasan sepeda motor bukan sarana angkutan umum.
Keputusan ini didorong oleh harapan pemerintah daerah untuk memperbaiki sistem transportasi umum. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak daerah tidak dapat memenuhi harapan tersebut, sehingga ojol semakin berkembang.
Darmaningtyas menjelaskan, pada 2015, gojek dan grab mulai berkembang pesat. Namun, regulasi terkait ojek online baru muncul setelah Uber menyerah pada 2018.
Pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan, telah mengeluarkan sejumlah peraturan menteri, seperti PM 32 Tahun 2016 dan PM 12 Tahun 2019, yang memberikan dasar hukum bagi operasional ojol.
“Meskipun tidak ada undang-undang khusus, sampai saat ini tidak ada persoalan hukum terkait operasional ojol,” ujar Darmaningtyas dalam Forum Legislasi di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (11/3/2025).
Terkait dengan revisi undang-undang LLAJ, Darmaningtyas menegaskan bahwa aplikator wajib memberikan THR kepada pengemudi ojol.
Menurutnya, ada beberapa alasan mengapa ini penting.
“Aplikator sudah memperoleh keuntungan dari jumlah pengemudi dan pergerakan penumpang. Setiap pengemudi mengangkut sedikitnya lima orang per hari, yang sudah memberikan kontribusi besar bagi aplikator,” katanya.
Darmaningtyas juga menyoroti keuntungan lain yang didapatkan aplikator, seperti bunga dari dana yang mengendap.
“Bunga yang mengendap dalam jangka waktu tertentu bisa sangat besar. Oleh karena itu, aplikator seharusnya berbagi keuntungan dengan pengemudi,” tambahnya.
Meskipun ada berbagai pendapat mengenai hubungan industrial, Darmaningtyas menegaskan bahwa pembagian keuntungan adalah langkah bisnis yang beretika dan sesuai dengan prinsip kemanusiaan.
“Bagi bisnis yang baik, keuntungan harus dibagi kepada mereka yang memberikan kontribusi, dalam hal ini, pengemudi ojol,” tutupnya. (faz/ipg)