Bambang Subianto Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam Kabinet Reformasi Pembangunan yang menjabat pada 23 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999, mengungkapkan soal penandatangan surat utang Bantuan Langsung Likuiditas Bank Indonesia(BLBI) seniai Rp144 triliun pada Desember 1998.
“BLBI yang menyalurkan Bank Indonesia, mereka detailnya tahu bank apa dapat berapa. Lalu BI mengajukan kepada pemerintah agar kewajiban bank kepada BI dibayar oleh pemerintah, bukan diselesaikan secara satu satu tapi secara keselurahan, yaitu Rp144 triliun,” katanya dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jakarta, rabu (6/6/2018).
Bambang Subianto bersaksi untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002–2004, yang didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti dan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim serta Itjih S. Nursalim telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp4,58 triliun.
“Saya minta diklarifikasi angka Rp144 triliun itu, saya minta BPKP periksa. Setelah hasil periksaaan dilaporkan pada akhir November memang situasinya berat karena ada beberapa puluh triliun yang menurut BPKP tidak ada data pendukungnya. Ini secara menyeluruh. Saya jadi terjepit dalam sebuah dilema. Kalau saya tidak mengeluarkan surat utang pemerintah untuk mengganti BLBI, maka BI bangkrut dan Republik Indonesia bangkrut,” ungkap Bambang.
Ia pun selaku Menteri Keuangan RI akhirnya menandatangani surat tagihan untuk menalangi sementara tagihan BLBI tersebut.
“Ini harus dibuat pencadangan, karena itu saya tanda tangan surat, tapi dengan membuat surat pengantar yang mengatakan angka ini hanya sementara, harus diverifikasi pihak independen. Itu, makanya saya selamat. Kalau tidak, pasti duduk di sini. Saya yakin,” kata Bambang Subianto, yang juga Ketua BPPN pertama, namun hanya sebulan.
Ia menimpali, “BPPN tugas prinsipnya untuk membenahi perbankan. Kedua, mengumpulkan aset, kemudian dirawat dan dijual kembali untuk menutup utang karena ada yang ditanggung pemerintah. Maka, BPPN awalnya mengumpulkan para pemegang saham pengendali dan meminta aset mereka. Kalau bank ditutup, hitung jumlah kekayaan dan berapa nilai kewajiban, selisihnya harus dibayar, ditomboki pemerintah.”
Meski bank ditutup, menurut dia, uang nasabah di dalam tidak boleh hilang. Pemerintah menjamin uang nasabah dan memerintahkan BPPN memindahkan rekening nasabah ke bank penampung, kemudian mengumumkan uang itu berada di bank penampung.
Ia juga mengakui bahwa BDNI pernah dievaluasi, tapi diakuinya tidak mendapatkan laporannya secara khusus.
“BDNI pernah dievaluasi, kemudian dihitung ada kurang. Penghitungan tidak sekaligus karena aset ada yang bentuknya perusahaan, fisik, tanah bangunan,” demikian Bambang Subianto seperti dikutip Antara. (ant/rst)