Selasa, 4 Maret 2025

Ekonom Proyeksikan Inflasi Naik ke 2,33 Persen pada Akhir 2025

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi inflasi. Foto: iStock

Josua Pardede Kepala Ekonom Bank Permata memproyeksikan tingkat inflasi Indonesia kembali meningkat menjadi 2,33 persen pada akhir 2025, naik dari 1,57 persen pada akhir 2024.

Proyeksi ini mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk berakhirnya diskon tarif listrik serta tekanan dari permintaan domestik hingga depresiasi rupiah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Indonesia mengalami deflasi tahunan sebesar 0,09 persen secara tahunan pada Februari 2025. Ini merupakan yang pertama kali terjadi sejak deflasi tahunan terakhir tercatat pada Maret 2000.

“Karena pemerintah telah membatasi diskon tarif listrik untuk periode dua bulan, kami terus memperkirakan inflasi akan tetap berada dalam kisaran target Bank Indonesia sebesar 1,5-3,5 persen pada akhir 2025, kecuali jika kebijakan tersebut diperpanjang untuk seluruh tahun,” kata Josua dilansir dari Antara pada Senin (3/3/2025).

Josua menjelaskan, deflasi yang terjadi sepanjang awal 2025, terutama hingga Februari, dipengaruhi oleh pemberian diskon tarif listrik.

Data menunjukkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) secara year-to-date (ytd) hingga Februari mencatat deflasi sebesar 1,24 persen.

Diskon tarif listrik sendiri menyumbang deflasi sebesar 1,47 persen pada Januari dan 0,67 persen pada Februari. Jika tidak memperhitungkan dampak dari kebijakan tersebut, inflasi ytd seharusnya mencapai 0,9 persen.

“Diskon ini tetap menjadi faktor dominan di balik deflasi, dimana diskon listrik terhadap pengguna prabayar sudah terefleksi di Januari yang lalu sementara dampak diskon listrik terhadap pengguna pasca bayar baru terefleksi pada deflasi di Februari 2025. Dengan demikian, indeks harga yang diatur pemerintah (AP) terus mencatat deflasi,” katanya.

Namun, dengan berakhirnya diskon tarif listrik, terdapat potensi normalisasi berupa kenaikan inflasi sebesar 2,14 persen.

Selain itu, tekanan inflasi juga diperkirakan datang dari pemulihan permintaan domestik yang terus berlanjut serta inflasi harga impor (imported inflation) akibat depresiasi rupiah.

“Di luar faktor yang didorong oleh kebijakan, kami mengantisipasi tekanan inflasi yang berasal dari pemulihan permintaan konsumen yang sedang berlangsung, yang dapat berkontribusi pada inflasi sisi permintaan yang moderat. Selain itu, depresiasi rupiah diperkirakan akan mendorong terjadinya imported inflation, yang akan menambah tekanan harga secara keseluruhan,” tuturnya. (ant/saf/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Tempat Laundry di Simo Tambaan

Kecelakaan Mobil Listrik Masuk ke Sungai

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Surabaya
Selasa, 4 Maret 2025
27o
Kurs