
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak nota keberatan atau eksepsi Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) terkait dengan kasus dugaan suap dan gratifikasi atas kasus Ronnald Tannu, tersangka pembunuhan terhadap DSA.
Rosihan Juhriah Rangkuti Hakim Ketua menyatakan keberatan Zarof, yang diungkapkan melalui tim penasihat hukumnya, tidak berdasarkan hukum.
“Menyatakan keberatan dari penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima,” ujar Hakim Ketua dalam sidang pembacaan putusan sela majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (24/2/2025) dilansir Antara.
Untuk itu, Hakim Ketua memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut berdasarkan surat dakwaan penuntut umum dan menangguhkan biaya perkara sampai dengan putusan akhir.
Hakim Ketua mengungkapkan keberatan penasihat hukum Zarof pada pokoknya menyatakan bahwa dalam surat dakwaan penuntut umum, perkara yang diuraikan bukan merupakan kasus korupsi, melainkan pidana umum.
Dengan demikian, penasihat hukum Zarof menilai penegakan hukum tersebut seharusnya menjadi kewenangan pengadilan negeri, bukan pengadilan tipikor.
Selain itu, dalam keberatan penasihat hukum Zarof, menyebutkan bahwa pelanggaran oleh Zarof merupakan pelanggaran etik bagi pegawai negeri sehingga penegakannya merupakan kewenangan Dewan Etik dalam bentuk quasi-judicial.
Terhadap keberatan tersebut, majelis hakim berpendapat dalam dakwaan terdapat uraian pemberian sejumlah uang dari Meirizka Widjaja Tannur Ibu Ronald Tannur, kepada tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya oleh Lisa Rachmat penasihat hukum Ronald Tannur, dengan Zarof sebagai perantara sebagai imbalan telah membebaskan Ronald Tannur.
“Maka, dakwaan penuntut umum tersebut merupakan bentuk pengaruh perkara suap yang menjadi kewenangan pengadilan tipikor, tempat pemeriksaan perkara korupsi didahulukan dari perkara lain, termasuk perkara penegakan etik oleh Dewan Etik,” tutur Hakim Ketua.
Oleh karena itu, majelis hakim menilai dakwaan penuntut umum telah mencantumkan identitas lengkap terdakwa, menguraikan tindakan pidana dengan jelas, serta ditandatangani sehingga dakwaan tersebut sudah dapat digunakan sebagai dasar pemeriksaan lebih lanjut terhadap perkara.
Dalam kasus tersebut, Zarof didakwa melakukan pemufakatan jahat berupa pembantuan untuk memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, yakni uang senilai Rp5 miliar, serta menerima gratifikasi senilai Rp915 miliar dan emas seberat 51 kilogram selama menjabat di MA untuk membantu pengurusan perkara pada tahun 2012—2022.
Pemufakatan jahat diduga dilakukan bersama Lisa Rachmat, dengan tujuan suap kepada Soesilo, Hakim Ketua yang menangani perkara Ronald Tannur pada tingkat kasasi di MA pada tahun 2024.
Atas perbuatannya, Zarof disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 12 B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. (ant/bel/bil/ipg)