
Polemik terkait sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang ditemukan di beberapa wilayah perairan Pulau Jawa, masih menjadi perhatian khusus publik, termasuk akademisi.
Nilam Andalia Kurniasari dosen Hukum Laut Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) menerangkan, dalam hukum laut tidak ada konsep hak atas tanah di ruang laut.
Nilam menjelaskan, jika awalnya wilayah tersebut adalah daratan kemudian mengalami abrasi hingga jadi perairan, pemilik tanah tetap punya hak atas itu.
“Tapi kalau sebaliknya, jika satu wilayah merupakan perairan, maka tidak ada dasar hukum yang mengakui kepemilikan tanah di ruang laut,” terangnya, Senin (17/2/2025).
Nilam mengatakan, sebenarnya pengurukan laut tidak hanya terjadi di Indonesia saja, beberapa negara lain juga pernah melakukan hal itu.
“Tapi yang membedakan adalah mereka melakukan dengan cara yang legal. Jangan sampai perluasan daratan itu kemudian menjadikan kerusakan lingkungan karena tidak imbang dengan kajian-kajian lingkungan,” ungkapnya.
Dampak perluasan area daratan yang dilakukan secara ilegal, lanjut Nilam, akan berimbas pada klaim kedaulatan dan hak navigasi negara lain.
Nilam menerangkan, dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) Pasal 16, perubahan garis pangkal (baseline) harus dilaporkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Meskipun demikian, UNCLOS menetapkan bahwa baseline yang telah diajukan bersifat tetap dan tidak dapat diubah.
“Negara-negara kepulauan seperti Indonesia harus berhati-hati dalam melakukan pengurukan karena dapat berdampak pada klaim kedaulatan dan hak navigasi negara lain. Jika pagar laut yang dibangun menghambat jalur navigasi internasional, Indonesia berpotensi melanggar hukum laut internasional,” jelasnya.
Sementara itu, Nilam juga menyoroti pencabutan sertifikat tanah oleh Nusron Wahid Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Meskipun langkah pencabutan sertifikat sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, namun tetap diperlukan adanya penelusuran lebih lanjut terkait siapa yang bertanggung jawab atas penerbitan sertifikat tersebut.
“Setiap pelanggaran hukum harus diikuti dengan penegakan hukum. Terkait sanksi dan proses hukum lebih lanjut, hal ini merupakan ranah ahli hukum pidana dan administrasi,” tambahnya.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia perlu memastikan bahwa kebijakan tata ruang dan agraria sejalan dengan prinsip-prinsip hukum laut serta mempertimbangkan aspek lingkungan dan kedaulatan negara. (kir/saf/ipg)