Indonesia terpilih menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (ATT DK PBB) untuk periode 2019-2020.
Tetapi, bagi Dradjad Hari Wibowo anggota Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN), terpilihnya Indonesia tersebut menyisakan tiga pertanyaan.
“Pertama, mengapa Indonesia ngotot menjadi ATT DK PBB untuk periode 2019-2020? Sampai-sampai harus voting melawan Maladewa, yang belum pernah sekalipun menjadi ATT DK PBB. Padahal unggah-ungguhnya, negara yang belum pernah lah yang diberi kesempatan,” ujar Dradjad dalam pesan singkatnya kepada suarasurabaya.net, Senin (11/6/2018).
Sekadar diketahui, Indonesia pernah berkali-kali menjadi ATT DK PBB, masing-masing pada periode 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008.
Kedua, Dradjad juga mempertanyakan mengapa Indonesia sangat ngotot ingin menjadi ATT DK PBB untuk periode yang dimulai 1 Januari 2019 sampai 20 Desember 2020.
“Ketiga, dan ini sangat penting, berapa anggaran APBN yang dipakai untuk memenangkan persaingan melawan Maladewa? Pos anggaran apa saja yang dipakai?” kata Dradjad bertanya-tanya.
Sebagai perbandingan, kata dia, Australia menghabiskan US$ 25 juta (hampir Rp 350 Miliar) ketika menang tahun 2012. Swedia habis US$ 4 juta (hampir Rp 56 miliar) pada tahun 2016 hanya untuk biaya staf/diplomat, utusan khusus, dan perjamuan. Ini belum termasuk biaya lobby yang lebih mahal.
Menurut Dradjad, rakyat berhak tahu, mengapa pemerintah lebih memprioritaskan kampanye ke DK PBB dibanding program lainnya.
“Urgensinya apa? BPK juga perlu mengaudit, apakah biaya lobby yang digunakan itu sah,” jelas Dradjad yang juga mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI.
Saat ini, Dradjad menilai kalau Kemenlu seperti sedang terkena euforia menyusul terpilihnya Indonesia sebagai ATT DK PBB. Hal ini disertai dengan pemberitaan dan penyebaran pesan di medsos yang super heboh.
“Kemarin saya sudah mengingatkan agar Kemenlu jangan heboh-heboh amat. Peranan ATT DK PBB itu sangat terbatas. Di sisi lain, ada 126 negara yang pernah menjadi ATT DK PBB,” tegas Dradjad yang pernah sebagai pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) ini.
Dia bercerita kalau Arab Saudi pernah menolak duduk sebagai ATT DK PBB.
“Ceritanya, Arab Saudi terpilih pada tanggal 17 Oktober 2013. Perolehan suaranya 176. Bandingkan dengan Indonesia yang memperoleh 144,” kata dia.
Selain itu, menurut Dradjad, Arab Saudi tidak mendapat saingan dari negara lain ketika terpilih. Hal ini sama dengan Jerman, Belgia, Afrika Selatan dan Republik Dominika yang terpilih bersama Indonesia untuk periode 2019-2020. Hanya Indonesia vs Maladewa yang harus masuk pemungutan suara.
“Setelah terpilih, Arab Saudi langsung menyatakan menolak duduk dalam DK PBB. Alasannya, DK PBB dinilai berstandar ganda, sehingga tidak efektif dalam mengatasi konflik Israel-Palestina, pelucutan senjata nuklir di Timur Tengah dan penghentian perang saudara di Suriah,” tegasnya.
Pada tanggal 12 November 2013, Arab Saudi melalui Dubesnya di PBB, Abdallah Y. Al-Mouallimi, secara resmi mengirim surat penolakannya. Kursi yang ditinggalkan Arab Saudi lalu diisi oleh Yordania, yang terpilih pada tanggal 6 Desember 2013 dengan 178 suara.
Kata Dradjad, Arab Saudi memang menjadi satu-satunya negara yang pernah menolak duduk dalam DK PBB. Namun alasan penolakan Arab Saudi tersebut adalah fakta yang diakui oleh banyak diplomat dunia.
“Ya memang begitulah DK PBB,” pungkas Dradjad.(faz/dwi)