![](https://www.suarasurabaya.net/wp-content/uploads/2025/02/Demo-Honorer-e1738590733481-170x110.webp)
Revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR menimbulkan kontroversi. Terutama karena memungkinkan parlemen mengevaluasi atau memberhentikan pejabat negara yang terpilih melalui uji kelayakan, seperti komisioner KPU, Bawaslu, pimpinan KPK, hingga hakim MA dan MK.
Revisi ini disahkan pada 4 Februari 2025 setelah dibahas dan disepakati oleh Mahkamah Kehormatan DPR dan Badan Legislasi DPR.
Revisi tersebut dikritik oleh banyak pihak. Sebab dinilai bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan dan melanggar konstitusi. Revisi juga dinilai bisa melanggar undang-undang, terutama terkait dengan Kapolri yang pengangkatannya dan pemberhentiannya seharusnya dilakukan oleh Presiden, bukan DPR.
Revisi tata tertib ini berpotensi menciptakan penyalahgunaan kekuasaan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Bivitri Susanti akademisi dan pakar hukum tata negara pun memberikan kritik keras revisi Tata Tertib DPR ini. Sebab dia menilai bisa membahayakan demokrasi.
“Tentu ini salah. Karena secara hukum tata negara, ini langkah yang salah,” kritik Bivitri dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (12/2/2025) pagi.
“Saya yakin DPR bukannya tidak mengerti. Justru karena DPR mengerti, maka mereka melakukan hal memanipulasi peraturan mereka sendiri,” lanjutnya.
Vitri menambahkan, yang namanya pemilihan pejabat negara itu rezim pemilihan, bukan rezim pemberian mandat. Jadi harus diingat bahwa DPR adalah lembaga legislatif. Salah satu tugas yang lazim dilakukan di seluruh dunia, di manapun, adalah memilih pejabat negara.
“Tapi bukan berarti pejabat negaranya itu ada di bawah kekuasaan DPR. Jadi kalau misalnya hakim dipilih oleh DPR, bukan berarti hakim harus tunduk kepada DPR. Karena masing-masing lembaga, sesuai konstitusi kita, memiliki independensi masing-masing,” terang Bivitri.
Bivitri mengingatkab bahwa ada banyak lembaga yang dipilih oleh DPR RI. Mulai dari KPU, Bawaslu, KPK, Hakim MA dan Hakim MK, hingga BPK.
“Masa semuanya lalu di bawah DPR? Kan ini tidak masuk akal dalam konsep Republik. Jadi kita paham bahwa ada pemisahan kekuasaan, eksekutif, legislatif, yudikatif dan juga lembaga independen,” jelasnya.
Bivitri kembali mengingatkan, meski DPR RI itu dipilih oleh rakyat, bukan berarti mereka berada di atas lembaga-lembaga lain di negara ini.
“Saya yakin, DPR nggak mungkin orang-orang yang bodoh ya. Nggak mungkin DPR tidak paham (soal pemisahan kekuasaan). Pasti mereka sudah ikut kuliah atau pelajaran PPKN. Artinya bukan dilakukan karena mereka tak paham, tapi memang mereka menginginkan ada kekuasaan yang berlebih-lebihan. Sehingga bisa mengintervensi lembaga-lembaga negara lain, apalagi ada pengadilan,” jabar Bivitri.
Bivitri mengamini bahwa DPR memiliki tiga fungsi, yakni fungsi pengawasan, legislasi, dan anggaran. Tapi fungsi pengawasan itu seharusnya dilaksanakan secara kelembagaan.
“Sebenarnya ini bisa dilakukan dengan selama ini yang sudah terjadi. Misalnya KPK lambat menyelesaikan kasus. Mereka bisa panggil KPK sebagai lembaga ke Komisi III, lalu bertanya dalam rapat terbuka. Mereka dipanggil secara kelembagaan,” imbuh Bivitri.
Dia menjelaskan, biasanya yang namanya pengawasan itu dilakukannya secara kelembagaan jadi bukan terhadap orangnya. Jika ada seseorang yang melakukan kesalahan, seharusnya biarkan mekanisme di lembaga tersebut bekerja. Sudah bukan lagi tugas dari DPR RI.
“Apalagi kalau sampai memberhentikan, itu sangat bertentangan (dengan kewenangan DPR RI). Karena kalau memberhentikan seorang pejabat negara, harus ikuti aturan di undang-undangnya masing-masing. Sebab masing-masing sudah ada porsinya,” jelasnya. (saf/iss)