![](https://www.suarasurabaya.net/wp-content/uploads/2024/03/Investasi-Bodong-1-170x110.jpg)
Dua terdakwa kasus investasi bodong yang menipu korban LS (72 tahun) di Surabaya hingga Rp171 miliar pada pertengahan 2024 silam, dituntut hukuman empat tahun penjara.
Terdakwa dalam kasus ini adalah pria inisial GH Komisaris dan wanita inisial ICA Direktur PT GTI. Keduanya menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (11/2/2025) sore.
Agus Budiarto Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam tuntutannya menyebut, kedua terdakwa secara sah dan meyakinkan melalukan penipuan sesuai dalam Pasal 378 KUHP.
“Menyatakan terdakwa Greddy Harnando dan Indah Catur Agustin secara sah dan meyakinkan melakukan penipuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP Juncto 55 Ayat (1) ke-1 KUHP,” ujar Agus.
JPU menuntut hukuman maksimal kepada kedua terdakwa masing-masing empat tahun kurungan penjara sebagaimana diatur dalam pasal tuntutan. “Dalam Pasal 378, tuntutan empat tahun sudah maksimal,” katanya.
Sesudah mendengar tuntutan yang dibacakan JPU, tim pengacara terdakwa GH dan ICA meminta waktu dua minggu untuk mengajukan pledoi atau nota pembelaan. Namun majelis hakim hanya memberikan waktu selama seminggu dan tim pengacara sepakat.
Anita salah satu tim kuasa hukum kedua terdakwa menyatakan bakal berusaha yang terbaik dalam menangani perkara kliennya ini.
“Kami sebagai kuasa hukum akan melakukan yang terbaik bagi klien kami. Karena setiap manusiakan punya hak,” ungkapnya.
Dalam persidangan sebelumnya, korban LS bercerita awal mula kasus ini saat dirinya berkenalan dengan terdakwa GH pada 2020. Korban mengaku tergiur karena diajak berinvestasi dengan iming-iming bagi hasil.
Supaya menarik minat korban, terdakwa mengaku mengirimkan bisnis tekstil ke sebuah brand kasur ternama hingga purchasing order (PO) perusahaan luar negeri.
LS menyebut, terdakwa memberikan jaminan SHM (sertifikat hak milik) rumah sebagai jaminan sehingga korban tidak ada rasa curiga terhadap bisnis investasi tersebut.
Karena sudah merasa yakin, korban lalu menanam investasi secara bertahap hingga sekitar Rp220 miliar kepada terdakwa.
“Di bulan pertama saya mendapatkan 1 persen. Lalu bulan kedua 1 persen, plus 3 persen dan uang pokok kembali. Itu sudah saya terima sekitar Rp 48,5 miliar,” kata LS dalam persidangan di PN Surabaya, Rabu (2/10/2024) silam.
Bisnis investasi itu mulanya berjalan lancar. Terdakwa masih memberikan hak korban sesuai perjanjian bagi hasil.
Karena korban sudah mulai percaya, terdakwa GH lalu menawarkan untuk tetap menjadi investor, daripada bolak-balik ke bank untuk mengambil uang.
“Saya percaya dan kembali berinvestasi. Namun, kenyataannya bagi hasil itu ada masalah. Terdakwa saya hubungi tidak pernah direspons. Harusnya Oktober itu saya mendapatkan pembagian hasil,” ungkapnya.
Singkat cerita, kemacetan bagi hasil mulai dirasakan korban. Sehingga pada Januari 2022, LS berhenti memberi transfer untuk investasi kepada terdakwa. “Januari sudah setop. Nilai kerugian saya sekitar Rp171 miliar,” tuturnya.
LS juga meminta kepada jaksa dan hakim supaya menghukum terdakwa yang seberat-beratnya atas perbuatannya. Ia juga berharap uang kerugiannya bisa dikembalikan.
“Uang saya minta tolong dikembalikan dan diberi hukuman yang setimpal. Jaksa dan hakim bisa mempertimbangkan, karena saya sudah usia 71 tahun ini harus mencari kemana uang untuk mengembalikan kepada teman dan saudara,” ungkapnya.
Diberitakan suarasurabaya.net sebelumnya, LS (71) pengusaha di Surabaya menjadi korban penipuan investasi dengan modus menawarkan keuntungan berlipat dari proyek sebuah perusahaan dengan sistem purchase order (PO). Korban merugi hingga Rp171 miliar.
Kasus penipuan ini diungkapkan Martin Suryana pengacara LS. Kejadian ini bermula pada April 2020. Ketika itu korban mendapat tawaran dari terlapor inisial IC perempuan dan GH laki-laku untuk berinvestasi ke PT Garda Tamatek Indonesia (PT GTI).
Keduanya menyampaikan kepada korban bahwa PT GTI memiliki proyek dengan perusahaan King Koil yang memerlukan banyak modal. Korban dibuat percaya karena tersangka IC merupakan Direktur Utama PT GTI sedangkan GH adalah Komisaris PT GTI.
Martin menjelaskan, saat itu korban ditawari berbagai keuntungan oleh tersangka. Antara lain keuntungan di bulan pertama sebesar 1 persen. Kemudian untuk bulan kedua sebesar satu persen + tiga persen + uang pokok dikembalikan secara penuh.
“Memang di awal-awal, apa yang dijanjikan (keuntungan) memang terjadi (diberikan). Walaupun terus kemudian ternyata tidak seperti yang dijanjikan,” ujar Martin ditemui di kantornya di Surabaya, Selasa (4/6/2024) silam. (wld/saf/ipg)