
Lia Istifhama anggota DPD RI asal Jawa Timur menyoroti implementasi Pasal 48 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). ia bahkan menyebut pentingnya tindakan super tegas pada perusahaan nakal.
Hal ini disampaikan Lia menanggapi terjadinya kecelakaan maut di pintu tol Ciawi 2, Bogor, Jawa Barat, akibat truk tronton yang mengalami rem blong. Peristiwa kecelakaan yang menyebabkan delapan orang meninggal ini terjadi pada Selasa (4/2/2025) sekitar pukul 23.30 WIB.
Kecelakaan tragis disebabkan rem blong bukan hanya saat ini, namun kesekian kali dialami berbagai macam truk tronton yang melintas di jalan raya.
Hal sama pun terjadi pada bus pariwisata yang mengangkut rombongan study tour. Atensi publik tentu masih hangat atas peristiwa Kecelakaan bus study tour SMK Lingga Kencana di Ciater, Subang Jawa Barat, study tour MIN 1 Pesisir Barat di Tanggamus, Lampung, study tour SMP 1 Wonosari Malang di Tol Jombang-Mojokerto, dan study tour SMK TI Bali Global Badung di Kota Batu, Jawa Timur.
Menurut Lia, kecelakaan yang menimpa anak didik tentu menjadi peristiwa memilukan karena keceriaan mereka menimba ilmu berakhir duka.
“Kita kadang melihat case kecelakaan terhenti pada kalimat penutup, sopir sebagai tersangka. Padahal kalau kita runtut, ada sebab utama kecelakaan, yaitu kelaikan kendaraan dan tekanan jam kerja. Kalau seorang manusia dituntut kerja dengan target waktu yang tidak mempertimbangkan kondisi jalan seperti kemacetan atau lainnya, serta kelaikan kendaraan ODOL yang tidak layak, maka jangan sebut tersangka hanya di manusia yaitu sopirnya, tapi kolaborasi penyebab ini yang kita soroti,” kata Lia dalam keterangannya, Kamis (6/2/2025).
“Kita ini harus meng-underlined, menggarisbawahi terkait ODOL atau Over Dimension Over Load. Jelas, ini mengacu pada kendaraan yang melebihi kriteria ukuran resmi standar. Ukurannya terlalu big size sehingga makan banyak laju jalan, dan bobot terlalu berat sehingga tidak memenuhi standar kecepatan di jalan tol,” imbuhnya.
Selain itu, lanjut Lia, ODOL maupun truk tronton yang memiliki kekuatan jauh dari kendaraan roda empat pada umumnya, seharusnya terus disorot pada implementasi Pasal 48 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, seperti sistem rem dan sebagainya. Seharusnya perusahaan juga memikirkan ini.
Menurutnya, jika perusahaan tidak disiplin atas Ram check serta menerapkan budaya K3 yaitu keselamatan dan kesehatan kerja secara baik, dan tetap teledor, sehingga menimbulkan kecelakaan, mereka seharusnya sadar bakal menanggung rugi sendiri.
Hal sama pun disebutkan Lia, juga pada bus pariwisata.
“Penyedia bus pariwisata mohon-lah, selalu rutin melakukan ram check bersama petugas Dishub, polisi, dan Jasa Raharja. Ram check dilakukan untuk memastikan kendaraan layak jalan dan siap beroperasi. Buat apa mencari keuntungan sedikit lebih banyak dengan cara efisiensi penganggaran terkait kelayakan kendaraan, tapi justru rugi banyak akibat kecelakaan?,” tegasnya.
Ia mengaku pernah bertemu dengan Nyono Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Jatim, terkait problem kecelakaan di jalan raya.
“Saat bertemu dengan pak Kadishub, kami memang sekaligus membahas tentang problem kecelakaan, karena mitra dalam Komite III DPD RI yang saya emban adalah Jasa Raharja, jadi ada keterkaitan dengan kecelakaan. Lantas disampaikan bahwa beragam upaya telah dilakukan, seperti adanya Trans Jatim dan intensitas ram check. Namun ini semua kan harus dua arah, dalam arti perusahaan harus meningkatkan kesadaran,” terangnya.
“Tidak mungkin bisa maksimal upaya preventif kecelakaan jika pemerintah sudah berusaha berupaya sesuai tupoksi tugas, tapi perusahaan pemilik truk ODOL maupun bus pariwisata memiliki kesadaran minim,” tambahnya
Secara lugas, ia pun meminta regulasi penindakan tegas perusahan yang nakal.
Menurut dia, satu-satunya upaya preventif menanggulangi kecelakaan adalah regulasi penindakan tegas perusahaan nakal.
Bukan hanya penindakan hukum, tapi juga penindakan banyak aspek, semisal penerapan regulasi denda khusus bagi perusahaan nakal yang truknya menjadi sebab kecelakaan sesuai jenis kecelakaan, maupun penerapan batasan lainnya, seperti halnya koruptor yang dicekal ke luar negeri sebagai bentuk mawas diri dan kesadaran perusahaan itu sendiri.
“Kita ambil contoh terbaru, yaitu kecelakaan tol Ciawi, perusahaan wajib turut bertanggung jawab atas segala beban biaya, mulai dari pengobatan maupun santunan bagi keluarga korban meninggal. Bila perlu, jika ada yang mengalami cacat non permanen, maka tanggung jawab perusahaan untuk mempekerjakan sesuai kemampuan korban saat sudah sembuh,” ungkapnya.
Lia mengaskan, penindakan adalah upaya efektif agar tidak ada lagi kendaraan melintas tanpa kelayakan berkendara.
Lia menjelaskan, perusahaan harus tumbuh sehat karena menyangkut roda ekonomi negara juga. Namun jika mereka memaksakan diri mencari keuntungan lebih dengan jam kerja sopir yang padat, apalagi mode study tour sehari, maka itu sama saja kembali pada mode penjajahan dengan sopir sebagai obyek penderita,” ujarnya.
“Sedangkan ada prinsip besar, ‘Nganjuk Kertosono, nek ngantuk ojok diterusno, kalau ngantuk, sopir seharusnya istirahat. Tapi kalau sudah kena target atau iming-iming bonus, sopir akhirnya terus saja memiliki mindset ‘kejar setoran’. Ini sangat tidak sehat dan tidak penting sama sekali jika beresiko tinggi,” jelasnya.
“Jadi udah lah, lebih baik ditegaskan sambil dilakukan evaluasi, sejauh mana efektifitas penindakan tegas untuk meredam potensi kecelakaan. Kalau masih saja nakal, cukup satu kata: ‘blacklist’,” pungkasnya.(faz/ipg)