Rabu, 5 Februari 2025

Akademisi Sebut Danantara Tak Efektif untuk Pendanaan Proyek Pemerintah

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Kantor Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) di kawasan Menteng, Jakarta. Foto: Antara

Sufmi Dasco Ahmad Wakil Ketua DPR RI mengungkapkan bahwa Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) akan mengelola aset dan investasi BUMN setelah baru saja dibentuk melalui pengesahan revisi UU BUMN pada 4 Februari 2025.

Dasco meminta masyarakat menunggu kebijakan lebih lanjut terkait BPI Danantara yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Erick Thohir Menteri BUMN memastikan pembentukan BPI Danantara sebagai bagian dari transformasi BUMN untuk mendukung visi Indonesia maju pada 2045. Ia menjelaskan BPI Danantara akan mengelola BUMN secara operasional dan pengelolaan dividen untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing global.

Erick juga menambahkan bahwa tujuh BUMN besar, seperti Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Pertamina, PLN, Telkom, dan lainnya, akan bergabung dalam BPI Danantara. Modal awal BPI Danantara diperkirakan minimal Rp1.000 triliun, yang berasal dari penyertaan modal negara dan sumber lainnya.

Prof. Wasiaturrahma Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) mengatakan menyampaikan kekhawatirannya terkait efektivitas BPI Danantara.

“Kita tahu bahwa BUMN kita itu jalan di tempat, oleh sebab itu harus diubah. Jika hanya menggunakan PP, itu kurang tepat. Hemat saya, aset-aset Danantara sebenarnya tidak bisa dijadikan kolateral untuk pinjam uang yang akan digunakan untuk proyek pembangunan. Kenapa? Karena itu tidak bisa disekuritisasi,” terang Wasiaturrahma dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (5/2/2025) pagi.

Selain itu, Wasiaturrahma menambahkan, superholding hanya bisa membenahi aset-asetnya melalui program efisiensi untuk mendongkrak dividen ke kas negara. “Tapi itu sangat berbahaya jika tolok ukurnya belum jelas,” katanya.

Bahaya lainnya adalah ketika mengambil kredit dari bank BUMN untuk mendanai proyek penguasa, yang ujung-ujungnya bisa menyebabkan masalah yang bisa terjadi seperti saat krisis moneter 1997/1997.

“Kalau saya melihat, Danantara tidak lebih dari sekadar payung bagi BUMN yang ujung-ujungnya itu sama saja. Ada atau tidaknya Danantara itu ujung-ujungnya sama saja seperti biasa. Kenapa? Karena tidak bisa dijadikan jaminan untuk utang lantaran aset-asenya itu tidak bisa disekuritisasi,” terang Wasiaturrahma.

Wasiaturrahma menegaskan bahwa membentuk superholding untuk utang adalah konsep yang kurang tepat. Wasiaturrahma meminta tak ada satu pun bank BUMN yang masuk ke Danantara.

Sejak awal mendengar tentang Danantara, Wasiaturrahma menyebut Danantara tak bisa dipakai untuk mengumpulkan dana pembangunan.

“Jadi intinya ini adalah ide yang gagal. Kecuali, menurut hemat saya, dimulai dengan green fund. Yakni menjalankan uang investor untuk mesin ekonomi baru yang kita butuhkan untuk pertumbuhan yang lebih tinggi dan berkelanjutan serta ada untuk pengentasan kemiskinan,” jabarnya.

Wasiaturrahma juga menyoroti perbedaan antara Danantara di Indonesia dan Temasek di Singapura. Dia mempertanyakan kemampuan Indonesia dalam membangun bisnis seperti Temasek.

“Artinya apa, jika Danantara dibentuk untuk mendanai proyek pemerintah, itu tidak mungkin. Tidak ada yang bisa memberikan pinjaman karena aset-asetnya itu tidak bisa dijadikan jaminan,” tegasnya. (saf/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Pohon Tumbang di Jalan Khairil Anwar

Mobil Tabrak Dumptruk di Tol Kejapanan-Sidoarjo pada Senin Pagi

Surabaya
Rabu, 5 Februari 2025
29o
Kurs