Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah berjalan dua pekan di beberapa daerah sejak 6 Januari lalu. Tahap awal, salah satu target sasarannya yakni siswa sekolah mulai tingkat TK hingga SMA/SMK.
Beberapa pihak menilai berjalannya MBG jadi solusi mendukung pembangunan berkelanjutan, sekaligus perbaikan kualitas pendidikan karena meningkatkan asupan gizi anak.
Meski demikian, awal penerapan program ini juga membuat sebagian pihak meradang, contohnya UMKM makanan. Berdasarkan laporan beberapa media, implementasi MBG berdampak signifikan pada pendapatan kantin sekolah yang bahkan mengalami penurunan omset hingga 50 persen.
Prof. Sulikah Asmorowati Ahli Kebijakan Publik Universitas Airlangg (Unair) Surabaya mengatakan pentingnya kolaborasi, terutama pihak pemerintah lewat Badan Gizi Nasional (BGN) dengan UMKM di sekolah, maupun pengusaha katering.
“Jadi kalau program makan bergizi gratis ini, co-production-nya (harus) dapat diwujudkan dengan melibatkan banyak pengusaha kantin ya, kemudian UMKM yang memang bergerak di bidang katering, agar bisa turut dalam proses penyediaan makanan bergizi gitu,” ujar Ika sapaan akrabnya waktu mengudara di Radio Suara Surabaya, Senin (20/1/2025) pagi.
Pemerintah sebetulnya sudah mengajak masyarakat dalam hal ini pelaku UMKM untuk menjadi mitra program MBG lewat laman resmi indonesia.go.id beberapa waktu lalu. Dalam ajakan itu, calon mitra yang ingin bergabung dalam program MBG harus memenuhi tiga syarat utama yang harus dipenuhi. Pertama, calon mitra harus bergerak di bidang penyediaan makanan bergizi, yang bisa berupa UMKM, koperasi, atau lembaga lain yang relevan.
Kedua, harus menggunakan bahan pangan lokal sebagai bahan utama, yang tidak hanya membantu meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi juga mendukung produksi pangan dalam negeri. Ketiga, calon mitra harus memiliki dokumen resmi seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan Nomor Induk Berusaha (NIB).
Ahli Kebijakan Publik Unair itu mengatakan, syarat-syarat yang tertera sebetulnya juga dalam rangka mengajak para pelaku UMKM bergerak ke standarisasi, khususnya untuk menyediakan makanan yang lebih bergizi dan higenis.
“Dengan banyaknya penyakit sekarang, virus yang sudah banyak variasinya, bermutasi jadi lebih bahaya, maka standar higenis harus diterapkan,” ucapnya.
Tapi dia juga mengakui, tidak semua kantin atau pelaku UMKM mampu mengikuti standarisasi yang diterapkan BGN untuk menjadi mitra MBG. Seperti memiliki badan hukum yang sah, rekomendasi, dan banyak requirement lainnya.
“Sementara UMKM yang agak susah mengikuti ini, sebaiknya ada pelatihan, pembinaan. Sehingga mereka juga tidak dibiarkan kalah dengan pengusaha katering atau kantin yang lebih besar,” ucapnya.
Khususnya di wilayah 3T (terluar, tertinggal, dan terdepan), kata Ika, pemerintah harus komitmen untuk menaruh perhatiannya dalam program ini.
“Bisa touching the grassroots of the community, jadi gimana makan bergizi gratis ini bisa lebih inklusif, bisa kemudian menggerakan ekonomi masyarakat yang di bawah. Perhatian masyarakat dan pemerintah khususnya harus bisa menyentuh ke titik itu,” jelasnya.
Untuk menjaga keseimbangan kesejahteraan siswa dan pengusaha dalam program ini, menurutnya ada langkah jangka panjang, pendek dan menengah.
Untuk jangka pendek, mau tidak mau pemerintah harus tetap melibatkan pengusaha kantin dalam penyediaan makanan. Harus bekerja sama dengan sistem tender atau pemesanan, sehingga penyediaan makanan juga tetap melibatkan stakeholder terdekat di sekolah itu.
“Kemudian kalau jangka menengah bisa memberikan pelatihan, bantuan modal, sehingga pengusaha kantin atau mikro itu tadi gak kalah dengan pengusaha-pengusaha besar kemudian juga bisa melakukan sosialisasi yang intens,” ucapnya.
Terakhir, untuk jangka panjang, jika pelatihan atau bantuan modal tak cukup untuk menutup efek dari program MBG, menurutnya harus ada diverisifikasi usaha kepada para pelaku UMKM makanan.
“Kalau mentok yang ada diversifikasi usaha ya, mereka bisa beralih ke koperasi, penyediaan alat tulis, fotocopy. Tidak mudah memang, tapi ini opsi terakhir. Paling penting pelatihan dulu agar tidak sampai gulung tikar,” ujarnya. (bil/ham)