Pemerintah berencana mengganti subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi subsidi produk dan bantuan tunai langsung (BLT).
Hal itu seperti yang disampaikan Bahlil Lahadalia Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin (13/1/2025). Dia mengatakan bahwa dalam waktu dekat akan melakukan rapat dengan Badan Pusat Statistik (BPS) soal data penerima BLT.
Bahlil pernah menyampaikan tiga opsi yang disiapkan pemerintah untuk mengubah subsidi BBM menjadi BLT. Pertama, mengalihkan subsidi BBM jadi BLT.
Kedua, menggunakan BLT tetapi sebagai fasilitas umum tetap mendapat subsidi untuk tekan inflasi. Sementara ketiga, yang disubsidi tetap barang tetapi hanya sebagian.
Tiga skenario ini masih dalam tahap pembahasan dan hasilnya akan dilaporkan ke presiden, juga dilanjut ke DPR jika telah mendapat persetujuan.
Apakah Anda setuju dengan wacana penggantian subsidi BBM dengan BLT?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (16/1/2025) pagi, masyarakat cenderung tidak setuju jika subsidi BBM diganti dengan BLT.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 86 persen peserta polling menyatakan tidak setuju jika subsidi BBM diganti dengan BLT. Sedangkan 14 persen lainnya menyatakan setuju.
Sementara berdasar data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 68 persen voters atau peserta polling menyatakan tidak setuju jika subsidi BBM diganti BLT. Sedangkan 32 persen lainnya menyatakan setuju.
Mengenai ini Anthony Budiawan ekonom sekaligus Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) mengatakan, polling yang dilakukan Suara Surabaya mewakili rakyat Indonesia.
Menurutnya, BBM adalah barang publik yang mana penetapan harganya harus ditentukan oleh pemerintah bersama DPR. Tapi juga harus melihat kemampuan rakyat dalam mendapatkan barang publik itu.
“Subsidi ini untuk menetapkan agar (BBM) bisa dijangkau oleh masyarakat. Tapi, kalau subsidi itu dihapus, maka banyak sekali masyarakat yang tidak bisa menjangkau barang publik itu karena terlalu mahal,” terangnya.
Anthony menyebut, pemerintah harus melakukan evaluasi terlebih dahulu sebelum menetapkan harga. Apakah harga yang ditetapkan mewakili pendapatan dan kemampuan masyarakat.
“Jangan melihat dari sudut anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) saja. Karena APBN mendapatkan tekanan, akhirnya masyarakat kecil yang dikorbankan. Ini yang terjadi selama 10 tahun terakhir,” ungkapnya.
Anthony juga menanggapi mengenai persoalan penerima subsidi tidak tepat sasaran, yang menjadi dasar kebijakan pemerintah.
Menurutnya, alasan itu tidak berdasar dan selalu disuarakan oleh pemerintah. Jika subsidi BBM bisa salah sasaran, pemberian BLT juga memiliki peluang yang sama.
“Sebenarnya sasaran subsidi BBM dan BLT ini beda. BLT untuk menambal pendapatan masyarakat. Belum tentu masyarakat sanggup membayar BBM tanpa subsidi. Meskipun BLT-nya sudah ditambah, mereka tetap tidak mampu untuk membayar BBM sesuai mekanisme pasar,” jelasnya.
Ketika subsidi BBM dicabut, lanjut Anthony, yang paling merasakan dampak adalah masyarakat bawah.
“Efek kenaikan BBM atau pajak bagi kelompok atas, tidak akan memberikan efek signifikan. Sementara untuk masyarakat menengah, ini kemungkinan mempengaruhi daya belinya. Kalau masyarakat bawah ini yang terpengaruh luar biasa,” katanya.
Sementara dampak menyeluruh dari pencabutan subsidi BBM, dinilai Anthony bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Dia mencontohkan, saat subsidi BBM dicabut, daya beli masyarakat akan menurun sehingga konsumsi secara menyeluruh juga akan turun. Ini akan menekan pertumbuhan ekonomi dan mengancam kesejahteraan masyarakat.
“Kalau seandainya hal itu terjadi, tidak hanya daya beli menurun tapi juga meningkatkan PHK,” tandasnya.(kir/ipg)