Sebuah sanggar yang terbuat dari kombinasi kayu dan beton berdiri di sebuah komplek di Jemursari, Wonocolo, Surabaya, Jawa Timur. Ukurannya tidak terlalu besar, hanya 9 x 9 meter. Di dalamnya, terdapat alas karpet berwarna hijau dan tulisan aksara Jawa yang menempel pada dinding.
Bangunan itu merupakan tempat sesanggaran penghayat kepercayaan di Surabaya. Di samping sanggar, terdapat gedung berwarna putih yang menjadi sekretariat, ruang pertemuan, hingga tempat menginap.
Sore itu, Sabtu, 11 Januari 2025. Di tengah suasana hujan, tampak seorang lelaki paruh baya sedang berada di dalam komplek sanggar. Ia mengenakan baju lengan pendek dan celana kain. Namanya Lukman Suparno, staff tuntunan sanggar.
Lukman sudah lama menjadi staff tuntunan sanggar. Tak lama dari jarak waktu sanggar tersebut berdiri, ia sudah mengabdikan diri di tempat sesanggaran itu. Bahkan sampai saat ini, ia juga tinggal di lokasi tersebut.
Sanggar dengan dominan warna cokelat itu, memiliki nama Sanggar Candi Busana. Namanya tertulis jelas di papan tengah gapura sanggar, bersanding dengan aksara Jawa.
“Sanggar ini berdiri sejak tahun 2016,” kata Lukman.
Sanggar tersebut berdiri, kata dia, atas perjuangan para penghayat kepercayaan yang juga dibantu oleh berbagai pihak, seperti Gereja, kalangan Nahdliyin hingga Kepolisian Sektor (Polsek) setempat.
Saat ini, ada sekitar 70-an warga (sebutan untuk penganut penghayat kepercayaan) yang memiliki kepercayaan tersebut. Sesanggaran dilakukan setiap seminggu sekali, yakni pada hari Jumat malam pukul 19.00 WIB sampai 23.00 WIB.
“Warganya bukan hanya dari Jemursari, tapi juga dari wilayah lain, seperti Gunung Anyar, Sepanjang Sidoarjo dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Lukman mengaku, upaya merawat kerukunan antar sesama, menjadikan aktivitas penghayat kepercayaan di Surabaya, khususnya Jemursari, berjalan dengan lancar.
Memang, jejak langkah penghayat kepercayaan di Indonesia cukup beragam. Di beberapa tempat, masih ada warga yang kolom agama di KTP-nya belum bisa diberi keterangan sebagai penghayat kepercayaan. Atau mendapat perlakuan yang tidak sama.
Harapan besarnya, kerukunan umat lintas iman bisa terus dijaga, agar keharmonisan terus hidup. Tentu, upaya tersebut perlu dukungan kuat dari pemerintah, tak terkecuali Kementerian Kebudayaan (Kemenbud).
“Mudah-mudahan, di tahun 2025 ini bisa menjadi adil dan makmur,” harapnya.
Naen Suryono pengurus dari penghayat kepercayaan yang juga merupakan bagian dari Komunitas Forum Kerukunan Umat Lintas Iman dan pembina di Rumah Bhineka komunitas Indonesia Merayakan Perbedaan (IMP) mengatakan, aktivitas penghayat kepercayaan di Surabaya sejauh ini berjalan dengan baik.
Mengenai KTP misalnya, masing-masing warga penghayat kepercayaan di Surabaya juga sudah tidak ada masalah.
“Karena untuk perpindahan dari agama KTP penghayat kepercayaan itu, diserahkan pada masing-masing individu, jadi terserah warganya apakah pindah KTP atau tidak,” tuturnya.
Ia mengaku bahwa saat ini, penghayat kepercayaan juga sudah difasilitasi oleh pemerintah. Bahkan beberapa momentum, juga kerap dilibatkan dalam pembahasan terkait dengan kepercayaan.
“Pemerintah juga memberi bantuan kepada kami, termasuk hibah, bantuan alat-alat olahraga juga,” tuturnya. Kebetulan, di lingkungan sanggar juga terdapat tempat khusus untuk sasana olahraga.
Namun, pihaknya juga berharap agar penghayat kepercayaan di daerah lainnya di Indonesia, juga mendapat perlakuan dan fasilitas yang sama dari negara.
“Harapannya bisa memfasilitasi yang ada di mana pun, karena fasilitas itu adalah tugas daripada negara untuk masyarakat yang mempunyai keyakinan agama juga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya.
Segala hal, kata dia, harus kembali kepada Pancasila, baik pemerintahannya maupun warganya. Sehingga, kerukunan umat, toleransi dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan bisa dihormati dan dilaksanakan oleh semua pihak.
“Supaya Indonesia itu bisa menjadi negara yang betul-betul harmonis di dalam perbedaan agama dan keyakinan,” tandasnya.
Penghayat kepercayaan hidup berdampingan dengan agama-agama utama di Indonesia, seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun ada perbedaan dalam keyakinan dan praktik, mereka berusaha menjaga harmoni dan toleransi antaragama. Banyak penghayat kepercayaan yang juga menghormati roh nenek moyang dan menjalankan praktik-praktik adat dalam rangkaian perayaan agama utama, menunjukkan kesalingpengertian dan keterbukaan dalam memadukan nilai-nilai spiritual.
Hujan di Jemursari masih turun. Setiap tetesnya membasahi pelataran wilayah sanggar dan jalan raya. Angin berhembus pelan. Daun pohon mangga dan kepala bergoyang. Bergelayut menyambut malam dengan sejuk.(ris/ipg)