Kamis, 9 Januari 2025

Ekonom Sebut RI Punya Peluang Capai Target Ekonomi usai Gabung BRICS

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Para pemimpin negara-negara BRICS+ berfoto dalam KTT BRICS di Kazan, Rusia, Kamis (24/10/2024). Foto: Reuters/Maxim Shipenkov
Achmad Nur Hidayat, seorang ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta, menyebut bergabungnya Indonesia dalam BRICS dapat mendukung percepatan pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen.

Dengan menjalin sinergi bersama negara-negara anggota BRICS, Indonesia berpotensi memanfaatkan transfer teknologi, mempercepat proses industrialisasi, dan memperluas pasar ekspor.

“Namun, untuk mencapai pertumbuhan tersebut, pemerintah juga harus fokus pada peningkatan infrastruktur domestik, deregulasi, serta memperkuat iklim investasi. Integrasi dengan BRICS sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai salah satu alat untuk mencapai transformasi ekonomi yang berkelanjutan,” ujar Achmad di Jakarta, Rabu (8/1/2025) seperti dilaporkan Antara.

Sebelumnya, Brasil selaku pemegang presidensi BRICS pada tahun ini, Senin (6/1/2025) lalu mengumumkan bahwa Indonesia telah resmi menjadi anggota penuh organisasi internasional tersebut.

Brazil menilai keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS merupakan langkah strategis yang penuh potensi. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan keanggotaan ini guna memperkuat posisi ekonominya hingga memainkan peran lebih besar di kancah global.

Salah satu keuntungan yang dapat dipetik Indonesia dari keanggotaannya di BRICS adalah peningkatan akses terhadap pasar global, khususnya di negara-negara anggota kelompok ini.

Achmad menjelaskan, melalui kerja sama multilateral ini, Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi langsung asing (FDI) dari anggota BRICS lainnya yang memiliki surplus modal dan kapasitas teknologi yang signifikan.

Keanggotaan di BRICS juga membuka peluang untuk memperkuat posisi diplomatik Indonesia di panggung global.

Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok ini telah menjadi forum penting dalam membahas isu-isu strategis seperti reformasi sistem pembayaran yang adil, ujung tombak dedolarisasi, reformasi tata kelola global, termasuk di lembaga keuangan internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.

“Dengan bergabungnya Indonesia, suara negara berkembang di dalam BRICS semakin kuat, dan ini sejalan dengan visi Indonesia untuk memainkan peran lebih aktif dalam membentuk tatanan dunia yang lebih inklusif dan adil,” terangnya.

Namun, bergabung dengan BRICS juga bukan tanpa risiko. Menurut Achmad, salah satu risiko utama adalah potensi pergeseran fungsi BRICS dari sekadar forum ekonomi, perdagangan, dan keuangan, menjadi poros militer dan kekuatan hard power baru yang ingin menggantikan tatanan internasional yang saat ini didominasi oleh Barat, yaitu Amerika Serikat (AS) dan NATO.

“Jika pergeseran semacam ini terjadi, BRICS tidak lagi hanya menjadi alat untuk mendukung pembangunan ekonomi, tetapi bisa menjadi instrumen geopolitik yang membawa risiko besar bagi stabilitas global, terutama di tengah meningkatnya tensi antara kekuatan besar dunia,” jelasnya.

Transformasi BRICS menjadi kekuatan hard power dapat memicu ketegangan baru, terutama dengan negara-negara Barat.

Beberapa anggota BRICS, seperti Rusia dan China, sudah terlibat dalam dinamika konflik geopolitik yang rumit, baik dalam perang Ukraina maupun sengketa wilayah di Laut Cina Selatan.

Jika BRICS semakin condong pada agenda geopolitik yang konfrontatif, Indonesia berisiko terseret ke dalam konflik yang tidak sesuai dengan prinsip kebijakan luar negerinya.

Lebih lanjut, Achmad memberikan catatan bahwa Indonesia perlu mengingat kembali akar kebijakan luar negeri yang berpijak pada konstitusinya, yakni bersikap nonblok dan hanya berpihak kepada kemerdekaan, kemanusiaan, serta perdamaian dunia.

Prinsip ini telah menjadi pilar utama dalam membentuk citra Indonesia sebagai negara yang independen dan netral, serta berkomitmen untuk menjauhkan diri dari politik blok yang dapat mencederai kepentingan nasionalnya.

“Oleh karena itu, bergabungnya Indonesia ke BRICS harus dilakukan dengan kehati-hatian tinggi dan didasarkan pada persyaratan yang jelas. Indonesia harus menegaskan bahwa keanggotaan di BRICS tidak boleh mengorbankan loyalitasnya kepada konstitusi dan prinsip dasar kebijakan luar negerinya,” tambahnya.

Selain itu, Achmad mengatakan bahwa dampak negatif lain yang perlu diwaspadai yakni kemungkinan persaingan yang meningkat di pasar domestik.

Dengan kerja sama yang lebih erat, produk-produk dari negara-negara BRICS lainnya bisa lebih mudah masuk ke pasar Indonesia, yang berpotensi mengancam industri lokal jika tidak dikelola dengan baik.

Meski demikian, dampak-dampak negatif tersebut dapat diminimalisir melalui pendekatan strategis. Ia menuturkan, Indonesia perlu memastikan bahwa kepentingan nasional selalu menjadi prioritas utama dalam setiap negosiasi dan inisiatif BRICS.

Pemerintah juga harus memperkuat daya saing industri lokal melalui reformasi struktural, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan investasi dalam teknologi.

“Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan keuntungan dari keanggotaan di BRICS sekaligus melindungi sektor-sektor yang rentan dari dampak negatif,” jelasnya. (ant/vin/bil/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Pohon Tumbang di Jalan Khairil Anwar

Mobil Tabrak Dumptruk di Tol Kejapanan-Sidoarjo pada Senin Pagi

Surabaya
Kamis, 9 Januari 2025
28o
Kurs