Rabu, 26 Februari 2025

Kepala BPOM Sebut Silent Pandemic Akibat Antimikroba Jadi Ancaman Serius

Laporan oleh Akira Tandika Paramitaningtyas
Bagikan
Ilustrasi Obat Antibiotik. Foto: Pixabay Ilustrasi obat antibiotik. Foto: Pixabay

Taruna Ikrar Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebut silent pandemic atau resistensi akibat antimikroba menjadi ancaman serius dunia.

“Resistensi antimikroba kini menjadi fenomena biologis kompleks yang mengancam kemampuan manusia dalam mengendalikan mikroorganisme berbahaya,” katanya, melansir Antara, Sabtu (4/1/2025).

Taruna mengatakan resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit mengembangkan kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang bahkan di bawah paparan obat antimikroba yang sebelumnya efektif membunuh mereka.

Fenomena resistensi antimikroba tidak dapat dipandang sebagai kejadian yang terisolasi, melainkan sebagai proses evolusioner kompleks yang melibatkan seleksi alam dan adaptasi genetik.

“Setiap kali mikroorganisme terpapar agen antimikroba, terjadi seleksi ketat di mana organisme yang memiliki keunggulan genetik untuk bertahan akan melangsungkan kehidupan dan reproduksi,” ungkapnya.

Dia mencontohkan, bakteri dapat mengalami mutasi genetik dalam hitungan menit, memungkinkan mereka secara cepat mengembangkan mekanisme pertahanan melawan zat antimikroba yang semula efektif membunuh mereka.

Spektrum mikroorganisme yang berpotensi menjadi resisten sangatlah luas. Selain bakteri juga ada virus, jamur, dan parasit.

“Setiap kelompok memiliki karakteristik unik dalam menghadapi tantangan antimikroba. Bakteri merupakan contoh paling nyata, dengan kemampuan horizontal gene transfer yang memungkinkan mereka berbagi informasi genetik resistensi antarspesies,” jelasnya.

Menurut Taruna, penggunaan antibiotik yang tidak rasional, baik dalam bidang kesehatan manusia maupun peternakan, menjadi pendorong utama.

Ketika antibiotik digunakan secara berlebihan atau tidak tepat, hal ini menciptakan tekanan seleksi yang kuat bagi mikroorganisme untuk beradaptasi dan berkembang.

Selain itu, globalisasi, perpindahan penduduk, dan perdagangan global semakin mempercepat penyebaran strain resisten lintas wilayah dan benua.

Taruna menambahkan resistensi antimikroba tidak hanya sekadar tantangan medis, tetapi juga merupakan persoalan kompleks yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Ia membutuhkan pendekatan multidisipliner yang melibatkan mikrobiologi, genetika, epidemiologi, kebijakan kesehatan, dan kesadaran masyarakat.

Upaya mengatasi resistensi antimikroba memerlukan strategi komprehensif yang tidak hanya berfokus pada pengembangan obat baru, tetapi juga pada perubahan perilaku dan sistem.

Di masa depan, kata Taruna, penelitian di bidang resistensi antimikroba akan semakin difokuskan pada pendekatan inovatif. Terapi fago, terapi menggunakan bakteriofage yang dapat membunuh bakteri secara spesifik, menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan.

Faktor antropogenik memainkan peran krusial dalam akselerasi resistensi antimikroba. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional di bidang kesehatan manusia, peternakan, dan pertanian telah menciptakan tekanan yang mendorong evolusi percepatan mikroorganisme.

“Pemberian antibiotik dalam dosis sub-terapi, praktik pengobatan mandiri, serta penggunaan antibiotik spektrum luas telah memberikan keuntungan selektif bagi mikroorganisme resisten untuk berkembang dan menggantikan populasi yang sensitif,” tutupnya.(ant/kir/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Tempat Laundry di Simo Tambaan

Kecelakaan Mobil Listrik Masuk ke Sungai

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Surabaya
Rabu, 26 Februari 2025
25o
Kurs