Minggu, 22 Desember 2024

Prabowo Tawarkan Koruptor Tobat, Pakar: Pemberantasan dan Hukuman Harus Tetap Jalan

Laporan oleh Risky Pratama
Bagikan
Satria Unggul Wicaksana Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya. Foto: UM Surabaya

Prabowo Subianto Presiden menawarkan kesempatan koruptor tobat dengan syarat mengembalikan seluruh hasil korupsi kepada negara.

Satria Unggul Wicaksana Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya mengingatkan, pengembalian uang negara akibat korupsi sejatinya tidak menghapus jerat pidana, baik dia sebagai pejabat publik maupun swasta.

“Hal ini jelas tertuang di dalam pasal 4 Undang-undang Tipikor yang menjelaskan bahwa pengembalian keuangan negara tidak menghapus jerat pidana, karena secara kontruksi yang pertama tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime sehingga dalam penanganannya tentu dia tidak bisa seperti kejahatan biasa,” katanya, Sabtu (21/12/2024).

Ia menegaskan, korupsi dari awal memiliki niat jahat untuk melakukan pengambilan keuangan negara atau melakukan hal-hal yang berkaitan, seperti suap, penggelapan dan lain sebagainya. Sehingga tidak bisa diperlakukan seperti kejahatan pada umumnya.

Seharusnya, kata dia, presiden fokus kepada strategi pemberantasan korupsi, rujukannya ada di Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB anti korupsi, yang terdapat tiga paradigma besar dalam pemberantasan korupsi.

“Yang pertama dalam pencegahan, yang kedua adalah penegakkan hukum, dan yang ketiga adalah assets recovery,” jelasnya.

Ia yakin, apa yang dimaksudkan oleh presiden adalah untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Maka seharusnya yang menjadi konsentrasi adalah assets recovery. Hal itu, bisa dituangkan dalam RUU perampasan aset yang sebenarnya sudah ada di meja parlemen dan menunggu politik hukum dari DPR dan juga Presiden untuk pengesahannya.

“Ada kepentingan dari anggota dewan maupun oligarki, ini justru menjadi penghambat dalam dalam pengesahan RUU perampasan aset itu sendiri. RUU perampasan aset tersebut penting,” tegasnya.

“Jadi bagaimana return the asset yang memulangkan aset dengan proses hukum yang relevan dan tepat melalui prosedur pengembalian uang kepada negara. Entah itu dari korupsi atau money laundry misalkan pencucian uang,” imbuhnya.

Ia juga mengatakan, bahwa seharusnya presiden sebagai pimpinan tertinggi negara dapat mendorong hal tersebut bukan dalam artian memberikan pengampunan bagi koruptor apabila dia mengaku. Tetapi konsentrasinya adalah sejauh mana peran dari lembaga penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk pemberantasan korupsi.

KPK sebagai leading sector, lanjut dia, ada kewenangan lain di kepolisian dan kejaksaan untuk memastikan bahwa langkah-langkah hukum yang dilakukan betul-betul dalam konteks pemberantasan korupsi, apalagi ketiga lembaga tersebut di bawah Presiden khususnya KPK pasca Undang-undang Nomor 19 tahun 2019.

“Sekali lagi, tentu ini sangat subjektif, artinya ini tergantung presiden. Karena kita tahu cara pemberantasan korupsi pasca undang-undang nomor 19 tahun 2019 ini cukup lemah karena KPK tidak ditempatkan lagi sebagai lembaga independen tetapi lembaga yang berada di bawah presiden,” pungkasnya. (ris/saf/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Pohon Tumbang di Jalan Khairil Anwar

Mobil Tabrak Dumptruk di Tol Kejapanan-Sidoarjo pada Senin Pagi

Truk Tabrak Rumah di Palemwatu Menganti Gresik

Surabaya
Minggu, 22 Desember 2024
32o
Kurs