Minggu, 19 Januari 2025

Indonesia Perlu Mencontoh Proses Demokrasi di Korsel Berjalan Tertib, Percaya Pada Hukum dan Pengadilan

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Henwira Halim Ketua DPP Bidang Hubungan Luar Negeri Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia. Foto: istimewa

Pemerintah Indonesia diminta mengambil pelajaran dari gejolak politik yang terjadi di negeri K-Pop, Korea Selatan (Korsel) yang berujung pada pemakzulan Yoon Suk-yeol Presiden terkait pemberlakuan darurat militer pada Sabtu (7/12/2024) lalu.

Hal itu akibat Yoon Suk-yeol Presiden secara gegabah menggunakan kekuasaannya untuk mengumumkan keadaan darurat.

Padahal yang terjadi adalah persoalan politik biasa, yang dipicu oleh persoalan pribadi dirinya dan perseteruan dengan parlemen Korsel.

Hal itu disampaikan Henwira Halim Ketua DPP Bidang Hubungan Luar Negeri Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia dalam diskusi daring bertajuk ‘Gejolak Politik di Negeri K-Pop, Ada Apa?’ Kamis (19/12/2024).

“Ini pelajaran yang penting buat kita. Artinya memang Presiden sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata itu, memang punya wewenang kekuasaan untuk mengumumkan keadaan darurat. Tetapi, power rakyat nggak boleh disepelekan, tidak boleh di take for granted (tidak dihargai) dalam bahasa gaulnya,” kata Henwira Halim.

Menurut Henwira, kekuasaan Presiden itu sangat besar, bisa menonaktifkan seluruh institusi negara dan memusatkan kekuasaan dalam genggamannya, apabila negara dalam keadaan darurat.

“Artinya menggunakan kekuasaan itu, perlu ada standard requirement atau persyaratan yang ketat. Jadi Presiden tidak bisa mentang-mentang menggunakan kekuasaannya, tanpa ada urgensinya,” ujar Henwira.

Apalagi kemudian terbukti, ternyata tidak ada ancaman serangan dari Korea Utara (Korut) yang dijadikan dalih oleh Yoon Suk-yeol Presiden untuk memberlakukan keadaan darurat.

“Ternyata ini hanya masalah politik yang harusnya diselesaikan melalui mekanisme politik biasa. Parlemennya terjadi perpecahan, parlemennya pecah dipicu skandal korupsi istrinya (Kim Keon-hee),” katanya.

Henwira menambahkan, pelajaran lain yang bisa diambil dari gejolak politik di negeri K-Pop adalah masalah transparansi dan keberanian dalam mengingatkan pemimpin, apabila salah dalam membuat kebijakan.

“Harus berani ngomong ke bos-nya (Presiden, red) kalau memang benar atau salah. Jangan asal bapak senang, tapi menjerumuskan. Sehingga kita bisa mencegah, apabila tidak ada urgensinya atau salah. Harus berani mencegah,” tegasnya.

Selain itu, yang perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah adalah para peserta aksi unjuk rasa di Korsel, yang sebagian besar adalah penggemar berat atau fans K-Pop.

Mereka memiliki yang pendidikan merata dan wawasan yang cukup dalam berdemokrasi. Sehingga membantu mereka berkomunikasi di media sosial untuk memobilisasi massa.

“Ini bedanya di kita (Indonesia) yang pendidikannya masih belum merata dan belum memiliki wawasan yang cukup. Sosial media bisa menjadi racun dan bumerang, kalau tidak ada rambu-rambunya dengan dalih kebebasan demokrasi,” pungkasnya. (faz/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Pohon Tumbang di Jalan Khairil Anwar

Mobil Tabrak Dumptruk di Tol Kejapanan-Sidoarjo pada Senin Pagi

Surabaya
Minggu, 19 Januari 2025
26o
Kurs