Kamis, 5 Desember 2024

Pakar Hukum: OTT Tidak Tepat secara Istilah, Tapi Benar secara Metode

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi - Penyidik KPK perlihatkan barang bukti uang tunai yang disita dalam OTT terhadap Risnandar Mahiwa Pj Wali Kota Pekanbaru dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (4/12/2024) dini hari. Foto: Antara

Operasi Tangkap Tangan (OTT) ramai diperbincangkan usai Johanis Tanak Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut OTT akan dihapus jika dia terpilih menjadi Ketua KPK periode 2024-2029.

Pernyataan itu disampaikan di Ruang Rapat Komisi III DPR RI saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan Calon Pimpinan KPK.

Menurut Johanis, istilah OTT tidak tepat. Johanis menyebut, pengertian operasi menurut KBBI, yakni dicontohkan seorang dokter melakukan operasi, yang tentunya semuanya sudah dipersiapkan dan direncanakan.

“Terkait dengan OTT menurut hemat saya saja saya kurang, mohon izin, meskipun saya di pimpinan KPK, saya harus ikuti, tapi berdasarkan pemahaman saya, OTT itu tidak pas, tidak tepat,” kata Johanis.

Sementara Alexander Marwata Wakil Ketua KPK menjelaskan, OTT lebih tepat disebut sebagai kegiatan penangkapan yang merupakan ujung dari proses penyelidikan yang telah mengumpulkan bukti yang cukup.

Dia menegaskan, kegiatan OTT tetap akan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam UU KPK, khususnya terkait kewenangan KPK dalam penyadapan. Alex menegaskan OTT efektif dalam pemberantasan korupsi meskipun semakin banyak orang yang berhati-hati.

Menyikapi hal itu, Iqbal Felisiano pakar hukum dari Universitas Airlangga menegaskan, OTT hanya sebuah istilah.

“Kalau kita lihat secara istilah hukumnya, maka OTT itu istilah yang salah. Secara istilah, ya. Namun, metode yang dilaksanakan oleh KPK itu merupakan metode yang efektif,” terangnya dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya pada Rabu (4/12/2024) pagi.

Iqbal menambahkan, metode OTT, jika dilihat dari kegiatan yang dilakukan oleh KPK adalah bagian dari penyidikan, dan hal itu tertuang dalam Undang-Undang KPK.

“Hanya secara istilah saja yang salah. Sebab istilah tangkap tangan itu ada (di Undang-Undang). Tetapi istilah operasi tangkap tangan itu tidak ada di Undang-Undang KPK,” imbuhnya.

Iqbal menjelaskan, menurut UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, istilah yang digunakan adalah tangkap tangan, bukan operasi tangkap tangan.

Iqbal menjabarkan secara sederhana tangkap tangan itu seperti menangkap copet atau jambret. Sementara itu, jika menambahkan kata “operasi” dalam tangkap tangan, seolah-olah kegiatan itu dilakukan secara terencana.

Jika kegiatan itu direncanakan, sambung Iqbal, itu bisa didefinisikan dalam istilah penjebakan. Penjebakan ini tidak boleh dilaksanakan dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

“Penjebakan ini tidak boleh dilakukan dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Hanya boleh dalam tindak pidana luar biasa yang kemudian boleh melakukan penjebakan. Contohnya dalam konteks tindak pidana terorisme, atau dalam UU Narkotika juga boleh dan disebutkan metodenya,” jabarnya.

Iqbal melanjutkan, UU Tipikor tidak mengatur penjebakan itu boleh. UU Tipikor dan UU KPK tidak memberikan kewenangan yang dinamakan Operasi Tangkap Tangan.

“Kalau kita berbicara mengenai hukum acara, itu kalau tidak diatur, maknanya tidak berwenang,” terangnya.

Tetapi, apakah kemudian secara metodologis diperbolehkan?

“Jika itu dianggap sebagai bagian dari penyidikan, maka itu boleh. Karena memang KPK boleh melaksanakan penyidikan yang didahului dengan model-model penyelidikan di mana ada penyadapan sebelumnya. Itu memungkinkan, dan itu boleh,” jelasnya.

“Makanya saya bilang, secara istilah, (OTT) itu salah, tapi metode pelaksanaannya sebagai bagian dari penyidikan, itu benar sesuai Undang-Undang,” imbuhnya.

Secara pribadi, Iqbal menegaskan tidak sepakat jika metodenya dihapus. Sebab, dia menilai metode itu sudah benar dan efektif. (saf/rid)

Berita Terkait

Surabaya
Kamis, 5 Desember 2024
27o
Kurs