Senin, 2 Desember 2024

Ekonom: Kenaikan UMP 6,5 Persen Belum Bisa Tingkatkan Daya Beli Masyarakat

Laporan oleh Akira Tandika Paramitaningtyas
Bagikan
Ilustrasi, gaji naik. Desain grafis: Gana suarasurabaya.net

Prabowo Subianto Presiden RI mengumumkan kenaikan rata-rata upah minimum nasional sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025, berdasarkan hasil keputusan melalui rapat terbatas bersama pihak terkait pada Jumat (29/11/2024) sore.

Prabowo menjelaskan, keputusan final diambil setelah melalui diskusi mendalam, termasuk dengan para pimpinan buruh. Kenaikan UMP tahun 2025, dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan daya beli pekerja sambil tetap menjaga daya saing usaha.

Namun merespons hal ini, Jaya Darmawan Peneliti Ekonomi Center of Economic and Law Studies Celios mengatakan, kenaikan UMP 6,5 persen belum mampu mencukupi beberapa hal seperti inflasi, kenaikan pengeluaran, termasuk juga kenaikan PPN 12 persen.

“Saya kira dari sisi buruh akan sangat berat karena kenaikannya belum cukup untuk mengkompensasi perekonomian. Sementara dari sisi pengusaha, logikanya sesederhana ketika konsumsi buruh atau rumah tangga turun, dia akan mengurangi permintaan. Sehingga dampaknya pada pelaku usaha juga berpotensi menurun,” terang Jaya saat on air di Radio Suara Surabaya dalam program Wawasan, Senin (2/12/2024).

Mengenai kenaikan UMP 6,5 persen, Jaya membuat tiga simulasi pengupahan setelah pemerintah mengungkapkan tidak akan menggunakan PP No 51 Tahun 2023.

Simulasi ini, menurut Jaya, dibuat dengan mempertimbangkan banyak hal termasuk kualitas hidup pekerja dan sirkulasi usaha.

“Simulasi pertama, berjalan sesuai dengan PP tersebut. Kedua, menaikkan UMP di angka 8,7 persen dengan asumsi inflasi 4,1 persen. Dan yang terakhir, menaikkan UMP 10 persen,” ungkapnya.

Jaya menerangkan, selama ini baik pemerintah maupun pengusaha selalu menanam asumsi ekonomi lama, yang mengatakan bahwa kenaikan UMP itu akan menurunkan lapangan usaha.

Padahal, lanjut Jaya, kenaikan UMP atau pemberian upah yang tinggi akan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan konsumsi rumah tangga, dan berdampak positif pada pelaku usaha.

“Dampaknya lebih ke output ekonomi, peningkatan daya beli, pendapatan masyarakat, dan surplus ke usaha lebih besar. Itu, kalau menggunakan simulasi ketiga, dengan menaikkan UMP 10 persen. Karena menurut saya, kenaikan UMP akan memberikan multiplayer effect,” jelasnya.

Jaya kembali menekankan bahwa pemerintah harus mengubah asumsi ekonomi yang lama. Karena, dia tidak melihat adanya dampak positif dengan menahan kenaikan UMP.

“Saya kira pemerintah harus juga perlu mengubah kebiasaan lama, yang mana penentuan UMP, lebih banyak mendengarkan dari sisi pengusaha. Dari sisi pengusaha sering menyampaikan bahwa kenaikan UMP akan mengancam perekonomian dan meningkatkan PHK, standar dan produktivitas SDM Indonesia sebagai acuan,” tuturnya.

Padahal, lanjut Jaya, menurut data ILO tahun 2023 dan PDB konstan 2017, produktivitas tenaga kerja Indonesia itu hanya kalah dari negara-negara seperti Singapura, Amerika, Korea, China.

“Kita lebih unggul dibanding negara seperti Vietnam, Bangladesh, Filipina, dst. Ini menunjukkan bahwa alasan memberikan UMP kurang/tidak layak pada buruh tidak sejalan dengan data ekonomi,” tegasnya.

Dari kenaikan UMP 6,5 persen yang disampaikan Prabowo Presiden, Jaya meiliki tiga catatan. Menurutnya, ini perlu menjadi perhatian pemerintah agar siklus ekonomi terjaga dengan baik.

“Pertama, pemerintah harus duduk bersama. Tidak hanya dengan pengusaha, tapi juga mendengarkan buruh. Kedua, angka kenaikan UMP paling aman saat ini berada di delapan hingga 10 persen. Dan yang terakhir, pemerintah harus mendorong perekonomian berbasis teknologi tinggi,” tutupnya. (kir/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 2 Desember 2024
26o
Kurs