Abdul Mu’ti Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) mengungkapkan, pihaknya sedang melakukan kajian mendalam terkait keberlanjutan Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan jalur zonasi.
Kajian tersebut melibatkan diskusi bersama para pakar dan peneliti, serta evaluasi terhadap sistem zonasi dan PPPK dengan mengundang kepala dinas pendidikan dari seluruh Indonesia.
Keputusan mengenai sistem ini akan diambil setelah melakukan pengkajian dan menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk DPR RI dan elemen masyarakat.
Mendikdasmen menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai masukan agar sistem PPDB dapat berjalan lebih baik, adil, dan tetap mempertahankan semangat integrasi yang diusung oleh sistem zonasi. Ia juga meminta masyarakat untuk bersabar karena keputusan terkait hal ini akan diambil setelah proses kajian selesai.
Menyikapi masalah PPDB jalur zonasi ini, Isa Anshori pengamat pendidikan meskipun data menunjukkan jumlah kelas yang tersedia sudah cukup untuk menampung peserta didik, permasalahannya justru ada pada keinginan masyarakat untuk masuk ke sekolah negeri. Keinginan ini menyebabkan sekolah negeri menjadi sangat diminati, sementara sekolah swasta kurang mendapat perhatian.
“Kalau bicara data, sebetulnya jumlah kelas itu memenuhi untuk peserta didik. Persoalannya semua orang ingin masuk sekolah negeri. Sehingga sekolah negeri menjadi tuntutan. Sehingga teman-teman di parlemen itu meminta Pemerintah Kota untuk dibangun sekolah baru. Padahal sebetulnya, kalau bicara data, sudah cukup ketersediaan ruang sekolah. Tinggal bagaimana pemerintah mendorong sekolah-sekolah swasta untuk menjadi mitra dan kemudian kualitasnya dibantu untuk ditingkatkan. Hal ini sudah berjalan di Surabaya,” terang Isa Anshori dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (26/11/2024) pagi.
Menurut Isa Anshori, tujuan utama dari sistem zonasi adalah untuk menciptakan pemerataan pendidikan dan mengurangi diskriminasi. Namun, masalah muncul karena banyak orang yang berusaha masuk ke sekolah negeri dengan cara yang tidak fair, sehingga sekolah negeri menjadi terkesan lebih istimewa dan lebih diutamakan.
Hal ini mengakibatkan sekolah swasta tertinggal dan kurang diminati meskipun kualitas pendidikan yang ditawarkan tidak jauh berbeda, terutama dalam hal pengajaran dan kualitas guru.
Isa Anshori berpendapat bahwa kualitas pendidikan di sekolah negeri dan swasta hampir sama, tergantung pada bagaimana guru menyampaikan materi dan berinteraksi dengan siswa.
Isa Anshori juga menyoroti pentingnya peran negara dalam memastikan kepentingan terbaik anak-anak dalam pendidikan. Ia menekankan bahwa pendidikan harus terus berkembang dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Namun, menurutnya, tidak semua masyarakat siap menghadapi perubahan, begitu juga dengan para guru yang terkadang belum sepenuhnya siap dengan otoritas yang diberikan kepada mereka.
Hal ini sering kali mengarah pada ketidakadilan, di mana anak-anak yang tidak memenuhi standar sekolah dianggap tak layak masuk dan akhirnya dikeluarkan atau tidak diterima di sekolah tersebut.
“Menurut saya ini prinsip-prinsip ketidakadilan yang harus disudahi,” tegas Isa Anshori.
Meskipun ia mengakui adanya kekurangan dalam sistem zonasi, Isa Anshori menilai bahwa sistem ini pada dasarnya adalah solusi yang baik untuk menciptakan keadilan dalam pendidikan.
Ia mengingatkan bahwa sistem zonasi perlu diperbaiki dan diperkuat, bukan dihapuskan. Salah satu kelemahan yang terlihat adalah kurangnya upaya pemerintah untuk memperkuat sistem zonasi, yang menyebabkan ketimpangan dan tingginya tuntutan dari masyarakat.
“Saya melihat sistem zonasi ini menjadi solusi sebetulnya. Tapi kan perlu diperbaiki. Ada kekurangan? Iya. Nah, menurut saya kekurangan itu yang harus kita perbaiki. Jangan sampai kebijakan itu seperti tari poco-poco yang maju-mundur dan maju-mundur,” sebutnya.
Menurut Anshori, meskipun sistem zonasi masih memiliki kekurangan, ada banyak efektivitas yang bisa dicapai jika sistem ini diperbaiki.
Ia juga menegaskan bahwa jika sistem zonasi dihapuskan, dan kembali menggunakan sistem berbasis nilai, maka diskriminasi dalam pendidikan berpotensi kembali muncul. (saf/ham)