Petang baru saja menjemput hari. Lampu-lampu kota beradu dengan bising kendaraan yang semakin padat di Surabaya utara.
Tepat jam enam, Berlian, bukan nama sebenarnya, bergegas menuntaskan pekerjaannya. Karena artinya, Radit, yang juga bukan nama sebenarnya, suaminya akan tiba di depan toko meubel tempat dia bekerja untuk menjemput.
Mereka berdua kemudian melintasi 15 kilometer perjalanan, menembus macetnya lalu lintas Surabaya di jam pulang kerja menuju rumah kos kawasan barat kota.
Terhitung, sudah satu tahun mereka tinggal di kos berukuran 2×4 meter itu, setelah menikah dan sekarang dikaruniai buah hati. Bisa dibilang, Berlian menyandang status sandwich generation, sebutan buat seseorang yang harus membiayai dirinya sendiri, orang tua, dan keluarga atau anak.
Namun begitu, Berlian mengaku bersyukur melalui setiap fase hidupnya, meski belum sesempurna harapannya.
Nasibnya lebih baik dari 2017 lalu, saat rumah keluarganya terpaksa dijual karena bisnis rental mobil ayahnya gulung tikar.
“Mobil, aset, dijual. Terus orang tua pulang ke Mojokerto,” katanya mengulang cerita yang masih tebal di ingatannya, Rabu (6/11/2024).
Mimpi sulung dari tiga bersaudara itu untuk kuliah di perguruan tinggi Kementerian Kesehatan terpaksa dikubur dalam-dalam. Ayah, ibu, dan adik bungsunya pulang ke kampung halaman di Mojokerto.
“Aku tinggal berdua dengan adikku yang masih SMA kelas tiga,” ucapnya.
Tak ada pilihan lain, ayahnya tidak mampu membayar uang pendaftaran senilai Rp5,5 juta saat itu. Hanya ada Rp2 juta untuk dia dan adiknya.
“Aku memutar otak bagaimana caranya uang dua juta (rupiah) ini bisa aku pakai bertahan hidup seterusnya,” katanya.
Berlian yang saat itu baru berusia 19 tahun, memutuskan kredit motor untuk menunjang kerjanya sebagai sales perusahaan kendaraan. Gaji pokoknya Rp2,4 juta serta insentif Rp500 ribu per unit jika terjual.
Di bulan keempatnya bekerja, dia senang bukan kepalang. Dia berhasil menjual mobil dengan komisi besar, Rp17 juta.
“Dua unit pertama cuma dapat Rp500 ribu per unitnya. Bulan keempat bisa jual mobil Civic, insentif besar itu,” tuturnya.
Sebulan kemudian, ia memutuskan keluar dari pekerjaan yang mengikatnya dengan sistem kontrak, tanpa memberikan hak karyawan BPJS Ketenagakerjaan.
“Tekanan di kantor semakin berat, gak ada jam kerja. Di rumah pun masih harus kerja. Dari jam tujuh pagi absen, jam 10 pagi pameran, jam 4 sore absen, sampai jam 12 malam baru pulang,” keluhnya.
Etos kerjanya yang bagus, membuat Berlian mudah mendapatkan tawaran pekerjaan setelahnya. Ia banting setir jadi sales toko sepatu.
“Uang insentif Rp17 juta tadi aku kasih ke ibu semua. Aku memang sudah janji kalau ada uang lebih,” imbuhnya.
Ia dapat gaji per bulan Rp3,8 juta sesuai Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya saat itu. Angka itu memang jauh dari satu kali insentif di pekerjaan sebelumnya, tapi baginya sudah cukup dibagi untuk keperluan hidup bersama adiknya.
“Gaji aku bagi untuk kos, motor, biaya hidup berdua dan uang saku adikku yang SMA, ngasih ibuku, bayar token listrik. Kalau dapat isentif itu bonus buat aku,” ucapnya.
Lagi-lagi karena semangat kerjanya, ia dipercaya atasan menjaga toko baru di mal lain.
Lalu tibalah saat Covid-19 menyerang manusia dan menjadi pandemi. Pada tahun kedua, 2021, pemerintah menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pengunjung mal yang tadinya ramai jadi sepi. Begitu juga tokonya.
“Sebelum masa-masa (PPKM) itu sangat menyenangkan. Insentifnya masuk terus dan barang baru cuma ada di toko yang aku jaga. Gajiku sebulan bisa Rp7 juta,” kenangnya.
Pengetatan terus terjadi sampai tinggal tiga pekerja dari total lima yang boleh masuk. Dia salah satunya.
“Bertahan empat bulan seperti itu,” tambahnya.
Hari itu pun tiba. Berlian jadi salah satu dari ratusan ribu pekerja di Indonesia yang terhantam tsunami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Dari awal sudah diberi tahu atasan. Kalau PHK akan dikasih dua kali gaji, dan Tunjangan Hari Raya karena pas momen Idulfitri. Lalu sisa cuti yang belum diambil diganti uang,” ingatnya.
Menyusul keluarganya, ia dan adiknya yang sudah lulus SMA pun pulang kampung ke Mojokerto.
“Uang gajiku setelah PHK tadi aku kasih ibu, juga bayar tagihan adikku di SMA sampai sekitar Rp4 juta,” paparnya.
Total 12 juta yang ia pegang habis tanpa sisa untuk membantu keluarga. Untungnya, perusahaan memberikan fasilitas BPJS Ketenagakerjaan.
Total empat tahun ia bekerja di toko sepatu itu, saldo BPJS Ketenagakerjaan yang bisa cair mencapai Rp11 juta. Cukup untuk bekalnya melanjutkan hidup tanpa penghasilan.
“Dua bulan aku bertahan di desa, tanpa pekerjaan. Ayahku jual ikan di pasar, pembelinya mulai menurun juga karena pandemi. Cicilan motor juga terus jalan,” tuturnya.
Ia pun nekat kembali ke Surabaya untuk melamar pekerjaan, jadi sales produk kasur. Bisa dibilang lebih buruk dari dua pekerjaan sebelumnya dalam hal kesejahteraan karyawan.
Tak ada pilihan, demi melanjutkan hidup dan memenuhi kebutuhan keluarga, ia menerima pekerjaan yang hanya membayarnya sesuai capaian target penjualan.
“Saat itu karena pandemi, perusahaan gak mau ambil risiko. Cuma menerima sistem kemitraan, digaji sesuai pendapatan penjualan. Kalau dari target 70 persen ya gajimu 70 persen dari UMK. Kalau 100 persen terjual baru dapat gaji penuh,” jelasnya.
Jerih payahnya mencari pembeli belum terbayar juga. Pandemi semakin parah, pemerintah memberlakukan lockdown, penguncian wilayah, penjualannya kian jauh dari target.
“Akhirnya sehari masuk sehari libur, dengan target penjualan Rp125 juta, saat itu aku hanya mampu jual Rp20 juta. Aku minta penurunan target. Tak hitung, penjualan Rp20 juta aku cuma nerima Rp500 ribu,” ujarnya.
Ia pun kembali memutuskan resign. Tak pikir panjang, ia langsung menerima tawaran di depan mata, dari perusahaan kasur kompetitor.
“Ditawarin karena kata manajernya lihat aku kerja bisa jual Rp100 juta, padahal dia masih laku Rp2 juta,” ucapnya.
Seiring membaiknya penanganan pandemi di Indonesia, pekerjaannya mulai nyaman. Perusahaannya menyejahterakan karyawan. Ia mendapat gaji UMK, komisi penjualan, dan BPJS Ketenagakerjaan.
“Aku sales tim mobile (keliling). Gaji UMK Rp4,5 juta. Insentif satu persen per unit, pameran kecil bisa dapat (penjualan) Rp350 juta bahkan Rp400 juta. Gaji bersih sebulan bisa terima Rp9 juta,” katanya.
Keuangannya mulai stabil, ia memboyong orang tua dan dua adiknya ke Surabaya. Berlian menyewa kontrakan seharga Rp15 juta setahun.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Radit, tambatan hatinya. Pada 2023 atau tepat tiga tahun bekerja di perusahaan kasur terkenal itu, dia memutuskan menikah.
Kini ia punya teman berbagi cerita juga menopang kebutuhan keluarga. Hanya berselang tiga bulan, Tuhan mengabulkan doa mereka untuk punya anak.
Satu sisi ia sangat senang. Itu impian mereka berdua jadi ibu dan ayah. Tapi ternyata kesedihan itu datang lagi.
Suaminya mengalami kecelakaan kerja patah tulang bahu hingga tidak bisa bekerja. Padahal dia sedang bersiap angkat kaki dari pekerjaannya, sebagai konsekuensi karyawan yang akan melahirkan. Saat itu kehamilannya memasuki usia enam bulan.
Sedangkan, beberapa tahun terakhir ini ekonomi keluarganya nyaris lumpuh, hanya bertumpu padanya.
Adiknya Riza memang sempat bekerja usai lulus SMA, juga turut membantu menghidupi keluarga. Tapi hanya berselang sekian bulan dari pernikahannya, Riza juga menikah lalu tinggal bersama suaminya.
“Ayahku terakhir driver ojek online tapi hampir tak ada penghasilan. Sering bertengkar dengan ibu. Sering gak pulang. Menghancurkan mental keluarga,” tuturnya menjelaskan sosok ayah.
Sebelum suaminya kecelakaan, Berlian sudah memutuskan menghentikan sewa kontrakan dan tinggal di kamar kos kecil yang hanya cukup dihuni berdua.
“Waktu itu karena ayah dan ibu bertengkar. Ayah menghajar ibuku habis-habisan. Aku sempat marah dan mengancam lapor polisi. Tapi ayahku justru melakukan percobaan gantung diri,” ceritanya.
Berlian ingin sekali tetap bekerja sampai usia kehamilan sembilan bulan, bahkan kalau boleh pascamelahirkan. Sembari menunggu suaminya sembuh dan kembali bekerja. Tapi aturan perusahaan tidak bisa ditawar.
Menjelang melahirkan, ia memenuhi kewajibannya, mengundurkan diri. Uang gaji terakhirnya Rp6 juta tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Belum lagi bayar kos, cicilan bank yang semula dibayar suaminya ketika masih bekerja, hingga persiapan melahirkan. Mereka sepakat menjual salah satu sepeda motornya.
“Radit gak dapat BPJS Kesehatan meskipun mengalami kecelakaan kerja. Gaji juga gak dicairkan. Masih ada cicilan bank dan bayar kos. Pengobatan alternatif Radit habis Rp300 ribu setiap dua pekan sekali,” paparnya.
Saking banyaknya kebutuhan, uang Rp11 juta hasil jual motornya tetap kurang. Namun, lagi-lagi ia beruntung punya BPJS Ketenagakerjaan. Saldo Rp8 juta hasil tiga tahun bekerja itu bisa langsung ia cairkan.
“Aku cairkan, aku tambahin sisa motor tadi buat bayar biaya persalinan. Jahitan belum kering (pascaoperasi sesar) aku berangkat mencairkan BPJS karena gak punya uang sama sekali,” ucapnya.
Uang itu ia pakai memenuhi kebutuhan pascapersalinan. Membeli popok sekali pakai, susu, keperluan lain anaknya, makan sehari-hari, pindah kos lebih lebar, sekaligus membiayai orang tuanya untuk kos di kamar sebelah.
“Kos Rp600 ribu. Utang semakin banyak terakhir Rp7 juta ya cicilan bank itu,” imbuhnya.
Dua bulan setelah putranya lahir, Radit diterima kerja. Ia juga kembali bekerja ketika anaknya usia tiga bulan.
“Sekarang ya bayar kos itu, sama bayar cicilan motor ayah aku ambil baru. Karena motor sebelumnya tergadai untuk keperluan kehidupan kemarin-kemarin,” ucapnya.
Sekarang, ia dan Radit fokus menabung. Barangkali tabungannya cukup merenovasi rumah keluarga di Mojokerto, atau bahkan membeli rumah di Surabaya.
Sementara waktu, ia bersyukur meski masih tinggal di kos bersama anak dan suaminya. Paling penting, ia ingin menemani tumbuh kembang anaknya setiap pulang dan libur kerja.
“Sekarang sudah gak ada tunggakan, pengin hidup menjadi ibu rumah tanga yang baik, merawat anak, nunggu anak tumbuh kembang. Tapi kan hidup di Surabaya keras, gaji UMK saja gak cukup. Bisa sih hidup tapi keinginan lain harus ditunda,” ujarnya tersenyum lepas.
Meski tak sebesar perusahaan sebelum melahirkan, tapi tempat bekerjanya kali ini nyaman. Ia kembali mendapatkan fasilitas BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Ketenagakerjaan, Satu-Satunya Jalan Keluar Saat Butuh Bantuan
Dari pengalaman kerjanya di berbagai perusahaan, ia belajar bahwa pemenuhan hak keselamatan karyawan sangat penting.
“Aku harus cari yang ada fasilitas BPJS. Karena kita gak tahu ada apa,” katanya.
Berbekal kisah suaminya, ia tahu sulitnya karyawan yang mengalami kecelakaan kerja, masih harus menghidupi keluarga tapi tak ada biaya.
Pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan oleh perusahaan, sambungnya, sangat berarti.
“Kalau kita menabung sendiri, pola pikirnya pasti ini uang kita. Sedangkan BPJS ini ibarat kita menabung tapi gak tahu berapa jumlahnya,” tuturnya.
Banyak kesulitan hidupnya yang bisa ia lewati karena modal ‘pensiunan’ tabungan BPJS Ketenagakerjaan.
“Tiba-tiba rasanya punya pensiunan. Jadi BPJS Ketenagakerjaan sangat berarti buat saya,” tandasnya.
Besar harapannya, kelak semua perusahaan mendaftarkan karyawan dalam layanan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
“BPJS Kesehatan untuk menanggung saat jam kerja ada sakit, BPJS Ketenagakerjaan akan jadi tabungan jika karyawan sudah diberhentikan kerja, karena mayortas perusahaan besar tidak ada yang kasih pesangon,” tutupnya.
BPJS Ketenagakerjaan dan Pemda Terus Upayakan Perusahaan Penuhi Hak Karyawan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan pemerintah daerah (pemda) terus berupaya agar semua perusahaan memenuhi hak karyawan.
Dyah Swasti Kusumawardhani Wakil Kepala Wilayah Bidang Kepesertaan Kantor Wilayah BPJS Ketenagakerjaan Jawa Timur mencatat ada 141.133 perusahaan di Surabaya yang sudah bekerja sama.
Bekerja sama artinya, mereka memenuhi hak karyawan dengan mendaftarkan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.
“Kepatuhan terhadap pendaftaran seluruh karyawan, mendaftarkan upah yang diterima karyawan sebenarnya,” kata Asti sapaan akrabnya, Senin (11/11/2024).
Ia memastikan akan memasifkan sosialisasi perusahaan agar memberi hak karyawan atas kepesertaan BPJS sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
“Edukasi ke masyarakat dilakukan secara masif. Koordinasi dengan pemkot beserta jajaran. Sampai tingkat kecamatan dan kelurahan,” ucapnya.
Adventus Edison Kepala BPJS Ketenagakerjaan Surabaya cabang Karimunjawa mencatat hampir tujuh ribu badan usaha dengan total 500 ribu pekerja sudah bermitra.
“Sudah mencakup segmen pekerja, penerima upah, Pekerja Migran Indonesia (PMI), pekerja bukan penerima upah dan pekerja jasa konstruksi,” paparnya dihubungi terpisah.
Sayangnya, baru perusahaan menengah dan besar yang sudah mendaftarkan karyawan mereka sebagai peserta BPJS. Sementara perusahaan mikro kecil belum banyak yang menaati aturan ini.
Selaras dengan BPJS Ketenagakerjaan Jawa Timur dan Surabaya, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya juga terus mengimbau perusahaan mendaftarkan karyawan sebagai penerima layanan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Achmad Zaini Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Kota Surabaya menyebut minimal ada dua layanan yang harus diterima pekerja, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
“Kami mengimbau seluruh perusahaan baik PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) atau pegawai tetap, wajib diikutkan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan,” tandasnya. (lta/ham/ipg)