Abdul Mu’ti Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah tengah mengkaji kemungkinan penerapan kembali Ujian Nasional (UN) usai sistem ini dihapus saat Nadiem Makarim menjabat Mendikbudristek.
Dukungan dan penolakan mengenai UN kembali muncul. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menolak UN, menganggapnya memicu stres bagi siswa dan berpotensi menimbulkan kecurangan karena dijadikan penentu kelulusan. Selain itu, UN dianggap tidak efektif untuk evaluasi pendidikan atau seleksi penerimaan siswa baru.
Sebaliknya, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mendukung UN, dan menganggapnya penting untuk memetakan kualitas pendidikan nasional dan mengevaluasi sejauh mana tujuan pendidikan tercapai. Hasil UN juga dianggap dapat menjadi dasar kebijakan pendidikan yang lebih baik.
Bagaimana dengan Anda, apakah setuju atau tidak jika UN diadakan kembali?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (7/11/2024), mayoritas masyarakat yang mengikuti polling menyatakan setuju atas jika UN diterapkan kembali.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 65 persen peserta polling setuju UN diterapkan lagi. Sedangkan 35 persen lainnya menyatakan tidak setuju.
Sedangkan berdasarkan data di Instagram @suarasurabayamedia menunjukkan, 72 persen voters atau peserta polling setuju UN diterapkan lagi. Sementara 28 persen lainnya menyatakan tidak setuju.
Menyikapi wacana penerapan kembali Ujian Nasional, Itje Chodidjah pakar mendidikan mengatakan bahwa Ujian Nasional justru memberikan dampak negatif pada sistem pendidikan. Sebab karena mengarahkan siswa untuk belajar hanya demi menghadapi ujian, bukan untuk mempersiapkan mereka menghadapi kehidupan nyata.
“Sejak 15 tahun lalu saya sudah menolak Ujian Nasional. Banyak yang bilang UN membuat anak rajin. Namun anak rajin karena tekanan dari luar, dan itu umurnya pendek. Anak hanya rajin belajar untuk mengerjakan tes, bukan untuk menyiapkan hidup,” terangnya ketika mengudara di Radio Suara Surabaya.
Menurutnya, pendidikan di sekolah seharusnya memiliki tujuan yang lebih luas, yakni untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan kehidupan. Bukan sekadar menyiapkan mereka untuk menjawab soal-soal ujian yang terbatas pada beberapa mata pelajaran saja.
“Apalagi soal-soal itu hanya berbasis pengetahuan, dan hanya beberapa mata pelajaran tertentu. Seolah-olah yang penting dalam hidup adalah mata pelajaran tersebut. Padahal semua mata pelajaran itu memiliki kekhasan sendiri untuk melengkapi pengetahuan dan sikap, untuk mempersiapkan hidup, bukan untuk lulus ujian,” tegasnya.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) ini menyamakan Ujian Nasional dengan proses quality control di pabrik, yang menilai kemampuan hanya berdasarkan tes standar.
Dia mengatakan, jika pendidikan di sekolah terus diukur dengan cara yang sama, maka yang lolos hanya mereka yang memiliki kecakapan yang lebih tinggi. Sementara itu, kualitas guru dan kondisi pendidikan di tiap sekolah pun masih belum merata.
Itje Chodidjah juga menekankan pentingnya asesmen yang lebih relevan dengan kehidupan nyata, seperti menguji literasi dan numerasi, ketimbang hanya mengandalkan ujian yang berbasis pengetahuan teoritis.
Lebih lanjut, Itje berpendapat bahwa peran guru dan sekolah sangat krusial dalam menciptakan lingkungan belajar yang sehat dan mendukung motivasi siswa untuk belajar.
“Jangan anak dipukuli karena Ujian Nasional. Padahal setiap anak bisa mempunyai keinginan berbeda untuk hidupnya,” kritik Itje Chodidjah.
Itje berpendapat bahwa pendidikan seharusnya mengajarkan anak-anak untuk berpikir kritis, berlogika, dan mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan, bukan hanya mempersiapkan mereka untuk ujian nasional.
Menurut Itje, kurikulum pendidikan harus lebih dari sekadar materi pelajaran. Kurikulum harus mencakup tujuan yang lebih besar, yaitu mengembangkan potensi siswa dalam berbagai aspek kehidupan.
Di samping itu, asesmen yang digunakan pun harus lebih mengarah pada kemampuan literasi dan numerasi, yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari, bukan hanya untuk memenuhi standar ujian.
Ia juga menyoroti pentingnya agar sekolah memiliki rasa tanggung jawab terhadap kualitas pendidikan yang diberikan. Setiap sekolah harus berkomitmen pada hasil yang dicapai, bukan hanya untuk mendapatkan nilai baik di ujian nasional.
Itje Chodidjah mengingatkan orang tua agar tidak melihat pendidikan hanya sebagai proses belajar untuk ujian. Ia mengkritik pemahaman orang tua yang menganggap pendidikan hanya soal duduk dan membaca, tanpa memahami bahwa pendidikan adalah proses panjang yang lebih dari sekadar ujian.
Akhirnya, Itje menegaskan bahwa guru seharusnya menjadi sosok yang menginspirasi dan menggerakkan hati siswa untuk belajar, bukan hanya menyuruh mereka mengerjakan soal.
Menurutnya, pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang mengajarkan anak untuk berpikir kritis, kreatif, dan memiliki kesiapan untuk hidup di dunia yang terus berubah.
“Guru adalah role model yang menggerakkan hati siswa. Mari kita ajak anak-anak berpikir dan berlogika, supaya mereka siap menghadapi dunia yang lebih besar,” katanya. (saf/faz)