Minggu, 24 November 2024

Ketua HKTI Jatim: Jangan Sampai Ada Diskriminasi Dalam Penghapusan Piutang Macet Petani dan Nelayan

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Seorang petani pada saat memilih benih sebelum ditanam di wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur. Foto: Antara Seorang petani pada saat memilih benih sebelum ditanam di wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur. Foto: Antara

Arum Sabil Ketua DPD Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jawa Timur (HKTI Jatim) mengatakan kebijakan pemerintah soal penghapusan piutang macet akan jadi angin segar para UMKM, khususnya yang bergerak di bidang pertanian, perkebunan, dan juga nelayan atau perikanan.

Sabil mengatakan banyak petani sebetulnya mengalami kesulitan dalam membayar hutang karena faktor musibah dan alam, seperti faktor cuaca hingga harga yang anjlok. Sehingga, secara individu banyak yang tidak bisa membayar dan tidak bisa mengakses bank lagi.

“Ini karena, kalau sudah ada catatan Kol (kemampuan peminjam untuk membayar angsuran atau pinjaman sesuai jadwal) merah di riwayat banknya, mereka tidak bisa meminjam lagi. Nah, kalau utang ini mau diputihkan, ini kabar baik bagi para petani dan pelaku UMKM,” kata Ketua HKTI Jatim itu kepada Radio Suara Surabaya, Rabu (6/11/2024).

Sebelumnya, Prabowo Subianto Presiden RI pada Selasa (5/11/2024) kemarin, menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Namun, Maman Abdurahman Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menyebut, tidak semua pelaku UMKM hutangnya akan diputihkan, khususnya untuk yang tidak mengalami kerugian karena faktor alam, seperti memiliki niat jahat tidak mau membayar.

Terkait hal ini, Arum Sabil juga buka suara. Dia menyarankan agar pemerintah tidak melakukan diskriminasi. Mengingat, selama ini ada juga para pelaku UMKM yang merasa tidak pernah meminjam atau tidak pernah mendapatkan akses kredit, tetapi namanya terkena ‘kol merah’ karena dipakai oleh oknum-oknum tertentu.

“Pemerintah perlu memutihkan hutang dengan cara yang bijak dan benar. Kalau ada kredit macet yang ternyata karena nama seseorang dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, maka yang namanya dicatut itu juga perlu diselamatkan, utangnya diputihkan, tapi oknum yang memanfaatkan nama itu harus dimintai pertanggungjawaban, baik secara hukum maupun keuangan,” ujarnya.

Dia mencontohkan kasus yang beberapa waktu lalu tengah ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, yakni skandal kasus kredit usaha rakyat (KUR) yang subsidi bunganya rendah, hanya sekitar enam persen per tahun, dengan batas maksimal 500 juta rupiah per orang.

“Ternyata, ada oknum yang mengatasnamakan orang lain, seperti buruh tani atau karyawan, untuk mendapatkan kredit ini, dan dana tersebut diambil sendiri. Totalnya hampir Rp125 miliar yang disalahgunakan, dan sekarang pelakunya sudah ditahan. Jadi, menurut saya, pemerintah harus selektif dalam menentukan siapa yang hutangnya diputihkan,” bebernya.

Sementara soal pernyataan lainnya dari Maman Abdurahman, soal kebijakan pemutihan hanya berlaku untuk pelaku UMKM nelayan dan petani dengan hutang Rp500 juta untuk badan usaha dan Rp300 juta untuk perorangan, Sabil menyebut harus ada sistem yang diubah.

Dia menjelaskan pernah ada aturan bahwa jika petani sudah pernah pinjam KUR, dia dianggap ‘kaya’ dan tidak boleh pinjam lagi.

Sabil berpendapat, kredit harus bisa berkelanjutan dan tidak stagnan pada Rp500 juta per orang atau per badan usaha. Jika KUR tersebut benar-benar bermanfaat, kredit itu sebaiknya bisa dikembangkan.

“Jangan ada batasan, apalagi kalau memang sudah memenuhi syarat analisis dari pihak bank. Petani yang punya lahan lebih dari dua hektare seharusnya tetap bisa mendapat pinjaman sesuai kebutuhan mereka. Jika tidak, mereka akan berpikir ulang untuk menanam pangan dan malah menjual lahannya ke pengembang perumahan,” tegasnya. (bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Minggu, 24 November 2024
27o
Kurs