Lima Calon Kepala Daerah perempuan tercatat menang berdasarkan hitung cepat Pilkada Jatim. Dengan adanya lima calon terpilih itu, maka jumlah pemimpin perempuan di Jatim tergenapi menjadi 10 Kepala Daerah.
Adapun kelima calon pemenang itu adalah Khofifah Indar Parawansah (Cagub Jatim), Puput Tantriana Sari (Cabup Probolinggo), Mundjidah Wahab (Cabup Jombang), Ita Puspita Sari (Cawali Mojokerto), dan Ana Mu`awanah (Cabup Bojonegoro).
Sedangkan lima kepala daerah perempuan yang selama ini memmimpin daerah adalah Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), Faidah (Bupati Jember), Haryanti Sutrisno (Bupati Kediri), Dewanti Rumpoko (Wali Kota Batu), dan Rukmini Bukhori (Wali Kota Probolinggo).
Mochtar W Utomo Pengamat Politik Universitas Trunojoyo Madura menilai, fenomena terpilihnya kepala daerah perempuan membuktikan bahwa sesungguhnya selama ini mayoritas pemilih yang datang ke TPS adalah perempuan, bukan laki-laki.
“Dulu suara perempuan yang mayoritas ini tersaluran kepada calon laki-laki. Ketika semakin banyak calon perempuan, dengan sendirinya mereka bergeser kepada perempuan atas dasar kesamaan gender,” ujarnya, Sabtu (30/6/2018).
Direktur Surabaya Survei Center ini mengatakan, karakter pemilih perempuan juga lebih loyal dibanding pemilih laki-laki. Hal ini yang membuat basis pemilih perempuan lebih kuat seperti basis pemilih Muslimat yang dimiliki Khofifah.
“Fenomena pemimpin perempuan, kata dia, bagian dari meningkatnya kesadaran gender di tingkat global. Jhon Naisbit, pengarang buku Megatrend 2000 menyebut, di abad 21 sosok perempuan akan merebut panggung sosial, ekonomi dan politik di arena global,” katanya.
Smentgara itu, Airlangga Pribadi Pengamat Politik Universitas Airlangga mengatakan, fenomena pemimpin perempuan di Jatim ini membuktikan bahwa tidak ada persoalan kepemimpinan pada kaum perempuan, tidak ada hambatan gender untuk aktualisasi politik bagi perempuan.
“Kapasitas pemimpin perempuan yang bertarung pilkada, menampilkan kualitas yang bisa diterima publik. Ini bisa menjadi motivasi baru untuk kaum perempuan,” ujarnya.
Pemimpin perempuan secara psikologi politik memang terlihat baperan dan emosional, namun hal itu hanyalah proses adaptasi yang terus berlangsung. “Kalau baperan, keras dan emosional, itu masalah adaptasi saja. Prinsipnya bagus selama ini,” katanya. (bid)