Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 4 persen atau 301 juta orang dari populasi global, dipengaruhi oleh gangguan kecemasan.
Kecemasan dianggap wajar jika hanya dialami sesekali. Tapi, disebut sebagai satu tanda kesehatan mental jika perasaan tersebut terus berlanjut atau tidak proporsional dengan situasi yang memicunya.
Gejala gangguan kecemasan yang menyebabkan tekanan signifikan dan mengganggu kehidupan sehari-hari seseorang, sering kali meliputi:
1. Kekhawatiran, ketakutan, atau kecemasan secara umum atau spesifik
2. Kesulitan berkonsentrasi atau membuat keputusan
3. Merasa mudah tersinggung, tegang, atau gelisah
4. Mual atau sakit perut
5. Jantung berdebar-debar
6. Masalah tidur
7. Perasaan akan adanya bahaya, kepanikan, atau malapetaka yang akan datang.
Perawatan gangguan kecemasan dapat mencakup jenis antidepresan yang disebut Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), beta-blocker (untuk mengurangi gejala fisik yang terkait dengan kecemasan), atau benzodiazepin, meskipun biasanya hanya diresepkan untuk jangka pendek karena dapat dengan cepat menyebabkan ketergantungan atau kecanduan, dilansir dari Medical News Today, Minggu (20/10/2024).
Sebuah penelitian yang dipimpin oleh National Institute of Mental Health di Bethesda, Maryland, menemukan bahwa mempraktikkan pengurangan stres berbasis perhatian penuh (mindfulness) sama efektifnya dengan escitalopram (Lexapro – SSRI yang biasa digunakan untuk mengobati depresi dan kecemasan), dalam meredakan gejala pada orang dengan berbagai gangguan kecemasan.
Perhatian penuh (mindfulness) vs pengobatan untuk mengatasi kecemasan
Para peneliti merekrut 276 orang dewasa yang telah didiagnosis dengan salah satu dari gangguan kecemasan seperti, agorafobia, gangguan panik, gangguan kecemasan umum, atau gangguan kecemasan sosial. Mereka kemudian secara acak menugaskan dalam rasio 1:1 ke program pengurangan stres berbasis perhatian penuh (MBSR), atau pengobatan dengan escitalopram selama 8 minggu.
Pada titik tengah dan titik akhir uji coba, para peserta melaporkan sendiri tingkat kecemasan dan depresi mereka.
Para peneliti melaporkan hasil yang dinilai oleh dokter untuk kelompok studi yang sama dengan menggunakan skala Clinical Global Impression of SeverityTrusted Source (CGI-S). Penilaian ini menemukan bahwa MBSR sama efektifnya dalam meredakan gejala kecemasan seperti halnya escitalopram.
Kelompok MBSR menghadiri sesi kelompok mingguan di mana mereka diajarkan teori dan praktik beberapa bentuk meditasi kesadaran perhatian penuh (mindfulness), kemudian mempraktikkan kesadaran setiap hari. Kelompok pengobatan mengonsumsi escitalopram 10-20 mg per hari dan menghadiri tindak lanjut klinis mingguan.
Tidak ada perbedaan signifikan setelah delapan minggu
Pada titik tengah penelitian, mereka yang diobati dengan escitalopram melaporkan penurunan gejala kecemasan yang lebih besar, tetapi setelah delapan minggu, tidak ada perbedaan yang signifikan di antara kedua kelompok.
Namun, kelompok obat mengalami lebih banyak efek samping. 110 orang (78,6 persen) dalam kelompok ini melaporkan setidaknya satu efek samping selama penelitian, sementara hanya 21 (15,4 persen) dalam kelompok MBSR yang melaporkan efek samping.
Perhatian penuh (mindfulness) dapat menjadi alternatif dari pengobatan
MBSR mencakup latihan meditasi formal dan informal, serta hatha yoga, yang pertama kali dikembangkan pada tahun 1990. Hal ini telah terbukti mengurangi stres, depresi, dan gejala kecemasan dengan membantu orang mengatur emosi mereka.
Para peneliti menemukan bahwa MBSR sama efektifnya dengan obat escitalopram dalam meredakan gejala gangguan kecemasan, namun dengan lebih sedikit efek samping. Oleh karena itu, mereka merekomendasikan MBSR sebagai pilihan pengobatan klinis untuk penderita gangguan kecemasan yang ingin menghindari risiko efek samping yang terkait dengan obat SSRI.
Jadi, bagi mereka yang tidak ingin mengambil risiko efek samping yang terkait dengan SSRI, perhatian penuh (mindfulness) bisa menjadi alternatif yang efektif untuk meredakan gejala gangguan kecemasan. (nis/kir)