Jumat, 22 November 2024

Wartawan: Aku Kira yang Terberat Tulisan, Ternyata Ancaman Mental

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Ilustrasi wartawan melakukan liputan. Foto: Pixabay

Samar-samar riuhnya kendaraan terdengar dari dalam cafe di sudut Kota Metropolitan Surabaya. Tempat yang paling rutin dikunjungi mereka, usai, atau saat tak punya rencana liputan.

Itulah gambaran tiga dari sekian wartawan muda yang hari-harinya diisi dengan menyelesaikan target tulisan, lalu disisa tenaganya selalu disempatkan merancang angan-angan masa depan.

Karin, Vita, dan Ajeng, bukan nama sebenarnya untuk mereka bertiga yang satu atau dua tahun terakhir lebih sering terlihat bersama.

Berawal dari sekadar membagi informasi liputan yang cukup meringankan beban tugas dari perusahaan satu dengan lainnya. Kadang, juga sebatas saling menyemangati setelah sama-sama menghabiskan hari ke sana-sini memenuhi tugas profesi.

Sampai suatu hari, obrolan senggang itu justru mengantar mereka untuk menyadari ada yang lebih berharga di banding sukses menjadi jurnalis yang beritanya dibaca seantero Nusantara, atau berhasil membantu siapa saja yang hidupnya jauh dari layak. Bahkan, membuka kedok kejahatan dan peristiwa-peristiwa penting lainnya. Yaitu, ketenangan dan kesehatan mental diri sendiri.

Merasa Tak Punya Pilihan Sampai Tak Punya Alasan Selain Bertahan

Tiga tahun menjalani profesi wartawan ternyata tidak cukup membuat Ajeng mampu meyakinkan diri kalau pilihannya tepat.

Cita-citanya sederhana saat lulus SMA dulu, sebetulnya hanya sekadar ingin diterima di kampus negeri dengan jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

“(Karena gak lolos) pengen kuliah di Surabaya,” katanya, Jumat (11/10/2024).

Setelah gagal, keputusan berikutnya sebatas menemukan kampus swasta murah, dan tak masalah jika harus menggeluti jurnalistik yang belum pernah terlintas saat masih sekolah.

“Iseng, tapi kok sepertinya keren jadi wartawan, meski realitanya kayak (seperti) gini,” ceritanya sambil tertawa.

Tak terasa tiga tahun sudah profesi wartawan itu melekat dengannya usai lulus sarjana. Dari senang dan bangga, sampai memilih tiba-tiba menghilang karena stres terus-menerus berhadapan dengan batas waktu penuntasan tulisan atau deadline.

“Aku pernah stres banget kerja berhari-hari tanpa libur, liputan terus. Sampai aku lelah banget dan menghilang lima hari, dimarahin redaktur aku ke mana aja (katanya). Aku jelasin aku stres sampa nangis, ya lama-lama kantorku ngerti,” tuturnya mengingat ceritanya dulu.

Terlintas ingin pulang ke kampung halaman, hidup sederhana, tapi rasanya sia-sia. Akhirnya memilih bertahan sementara.

“Aku belum bisa mikirin masa depan. Jalani aja yang ada, gak tahu ke depan gimana,” ucapnya.

Tanpa alasan. Cita-cita juga bukan, apalagi besarnya gaji.

“Di sisi lain bangga jadi wartawan, seru, asyik (ketemu) sama orang banyak, (bisa) liputan unik dan (berpikiran lebih) terbuka lah selama jadi wartawan,” ujarnya sedikit menenangkan diri sendiri.

Tapi lebih seringnya, seiring berjalannya waktu, semangatnya tak seberkobar dulu. Cukup menyelesaikan tugas harian, tak perlu menghabiskan tenaga apalagi pikiran sampai tanpa sisa.

Kalau boleh berharap, ia ingin perusahaan media miliknya juga meletakkan kesehatan mental karyawan di posisi utama.

“Sejauh ini kantor masih kurang aware (peduli) sama mental health. Aku sempat cerita ke rekan kerja kalau (sedang) stres, depresi, ke psikiater, lalu dia (hanya) bilang itu bisa disembuhkan, gak mungkin gak bisa, tapi kamu aja yang gak mau sembuh,” tuturnya kecewa.

Mundur Demi Kembalikan Energi yang Terkuras 6 Tahun

Bertahan dalam profesi yang ia pilih sendiri sejak 2018 lalu, memang bisa, tapi waktunya sudah habis. Begitulah Vita memaknai kesempatan menjadi wartawan.

Tapi enam tahun sudah cukup menurutnya untuk belajar menjiwai dan menikmati. Ia lebih memilih mundur dari wartawan yang memang dipilihnya karena sekadar ada tawaran sekaligus butuh uang.

“Aku kuliah public relation, tapi bisa jurnalistik karena ikut lembaga pers. Awalnya cuma pengin tahu cara nulis berita, ternyata saat ngerti, pekerjaan wartawan menurutku itu (punya) tantangan tersendiri bagi mahasiswa (saat itu yang kebetulan) ada tawaran dan butuh duit. Dalam proses belajar itu aku happy, menemukan kesenangan,” ujarnya mengingat masa-masa senang memulai profesi wartawan.

Ia tak memungkiri, cekatannya dalam menyelesaikan tulisan, upayanya menggali ide setiap hari, hingga tekanan dari segala sisi tanpa melihat kondisi kesiapan diri, ternyata membuatnya stres.

Secara tidak langsung, ia dipaksa melawan batas dirinya sendiri. Seakan tak boleh takut, apalagi hanya lelah.

“Awal aku jadi wartawan tiba-tiba disuruh ke kamar mayat, sumpah deg-degan keringat dingin, aku takut setan,” ujarnya menceritakan salah satu pengalaman yang terus diingat.

“Karena tekanan dari kantor dan di luar kantor. Jadi mentalnya itu gak siap menerima tekanan dari banyak sisi, tapi secara mental diri sendiri stres yang aku rasakan. Waktu istirahat kurang, liputan sampai malam, dan besok bangun lagi. Itu bikin fisik dan mental lelah, jadi nulisnya bakal amburadul. Meski (kadang) ada waktu-waktu lengang,” ucapnya semakin meyakinkan langkahnya mundur benar.

Sampai ia menyadari, ia dituntut bekerja tidak hanya dengan fisik tapi seluruh dirinya sepanjang hari. Bahkan nyaris kehilangan empati karena seringnya menghadapi peristiwa ngeri.

“Jadi saat jadi wartawan, ada peristiwa, merasa itu hal biasa,” timpalnya.

Setelah langkah mundur itu akhirnya diambil juga, Vita merasa pekerjaannya lebih menyehatkan mental. Masih menulis berita, tapi lebih fokus membentuk citra instansi. Tidak lagi harus berurusan dengan peristiwa, berkeliling mencari topik atau peristiwa, atau semua kebiasannya dulu.

“Kalau suatu saat ditawari jadi wartawan lagi, dengan perusahaan media yang peduli terhadap kesehatan mental karyawan aku akan tetap berpikir dua kali. Pedulinya sejauh mana, lalu penanganan mereka seperti apa, cara menjaga mental karyawan, dan sejauh mana mereka mampu jadi tameng wartwan. Sejauh ini menurutku gak ada perusahaan media yang benar-benar peduli, karena jurnalis Indonesia dituntut kuat menghadapi segala gempuran,” tutupnya menghentikan cerita.

Mungkin Salah Jalan, tapi Bukan Salah Pilihan

Dari mahasiswi jurusan pertanian, bercita-cita sebagai petani modern atau bekerja di bidang agrowisata, hingga berujung jadi wartawan memang salah jalan. Tapi Karin tak memaknainya sebagai salah pilihan.

Lima tahun berlalu sejak 2019 lalu awal Karin mengawali karirnya di bidang jurnalistik, ia merasa punya bekal yang cukup untuk melanjutkan jadi wartawan.

“Awalnya suka menulis, ikut lembaga pers mahasiswa di kampus, lalu tertariik jadi jurnalis karena ingin menjadi corong masyarakat, pemerintah,” ceritanya.

Meski berawal dari lingkaran karyawan hingga pimpinan perusahaan media toxic, gaji tidak sejahtera, atau hak-hak pekerja yang tidak terpenuhi. Tapi sekarang tempatnya berkarir sudah cukup sempurna.

“Yang membuat bertahan (karena) gaji sesuai, dan kantorku enak banget, belum tentu sektor lain bisa begini. Belum tentu yang lain menjamin karyawan dapat lingkungan kerja yang baik. Lalu yang mengedepankan kesehatan mental,” ujarnya bangga.

Layaknya wartawan yang kadang jenuh dengan rutinitas liputan berita, tapi Karin bilang ini satu-satunya profesi yang ia tekuni beberapa tahun terakhir.

“Aku tetap di sini sampai nanti bagaimana alur hidup (membawaku), sambil terus belajar,” katanya.

Kadang terbesit letih, tapi tidak dengan ganti profesi. Yang paling mungkin, Karin ingin duduk di kantor, menyunting, bukan lagi mencari berita.

“Atau pengin mengembangkan skill (kemampuan) di bidang lain selain jurnalistik, misalnya marketing,” imbuhnya.

Sembari menunggu dan mengusahakan kesempatan, ia akan tetap memilih memenuhi target berita. Lagipula, kantornya sangat mementingkan kesehatan mental pekerja. Ia bisa kapan saja konsultasi dengan psikolog.

“Penting banget bagi kantorku. Kantorku rutin namanya sharing session mental health. Ada jadwalnya. Tetang kerjaan atau trauma masa lalu. Menurutku itu penting karena kita yang bekerja di lapangan, sangat menguras emosi ketika sedang memghadapi liputan yang misalnya pembunuhan. Itu menjaga pikiran dan hati biar tetap stabil,” tandasnya.

Psikiater: Kesehatan Mental Karyawan Tugas Bersama

Profesi apa pun, bekerja di mana pun, memang tidak selalu nyaman, itu mengapa perlunya sudut pandang yang tepat.

Menurut sebuah survei terkait kesehatan mental di tempat kerja Agustus 2024 lalu, sebanyak 23 persen pegawai di suatu instansi terindikasi memerlukan layanan kesehatan jiwa.

“Jadi kepribadian dan cara menghadapi masalah, berat ringannya masalah tergantung kita,” kata Dokter Ivana Sajogo Spesialis Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur.

Normalnya, seseorang harus mampu mengelola diri menghadapi segala situasi. Kalau merasa tidak sanggup sampai mengganggu kegiatan sehari-hari, bisa jadi tanda mental tidak baik-baik saja.

“Merasa gak enak, dan ketidakmampuan atau sudah tidak nyaman sekali, baru macam-macam diagnosis banyak sekali. Ke psikolog untuk validasi memastikan (gangguannya) sampai taraf apa,” jelas Psikiater Konsultan Anak dan Remaja RSJ Menur itu.

Tapi untuk menciptakan lingkungan kerja yang peduli dengan kesehatan mental, perlu kontribusi semua pihak.

“Dari perusahaan ya jam kerja (sesuai aturan dinas tenaga kerja). Mereka bisa menyeimbangkan antara waktu libur dan bekerja. Lalu gathering atau kebersamaan. Kalau tidak bisa, minimal pendekatan personal karyawan, pasti senang kalau ada perhatian,” paparnya.

Di Jawa Timur, kesadaran perusahaan mengedepankan kesehatan mental menurutnya sudah baik dan terus proses.

“Beberapa pasien saya diberi kesempatan perusahaan ambil waktu kontrol ke psikolog atau psikiater,” tukasnya. (lta/bil/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs