Jumat, 22 November 2024

Kebijakan untuk Pengemudi Ojek Online oleh Pemerintah Harus Dirumuskan dengan Tepat

Laporan oleh Iping Supingah
Bagikan
Suasana diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD) dengan topik "Menavigasi Keberlanjutan Pekerja Gig di Indonesia" yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya di Jakarta, Rabu (9/10/2024). Foto: Antara

Pemerintah diminta berhati-hati dalam membuat kebijakan terkait ojek online (ojol) sehingga industri tersebut dapat berkembang dan terus memberikan kontribusi positif.

Terlebih, ojol saat ini sangat membantu pemerintah dalam menyerap tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian.

“Pemerintah perlu berterima kasih kepada industri ini karena turut memberikan kontribusi besar pada PDB (produk domestik bruto). Oleh karenanya, perlu ada regulasi khusus. Namun, harus diatur dengan hati-hati karena kita harus jaga industrinya tetap tumbuh,” kata Muhammad Hanif Dhakiri yang merupakan Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan juga anggota DPR, dikutip dari keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis di kutip dari Antara.

Hal itu disampaikannya saat diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD) dengan topik “Menavigasi Keberlanjutan Pekerja Gig di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya di Jakarta, Rabu (9/10/2024).

Untuk diketahui, pekerja gig ialah orang yang bekerja dengan jangka waktu tertentu atau berdasarkan proyek (on demand).

Untuk itu, ia menekankan bahwa dalam membuat regulasi, pemerintah jangan selalu mengambil jalan pintas dengan membebankan seluruh tanggung jawab kepada perusahaan aplikator. Sebab menurutnya, negara juga perlu hadir dan berkontribusi terhadap kesejahteraan ojol.

Ia mengatakan kesejahteraan adalah kewajiban pemerintah, bukan kewajiban perusahaan sehingga pemerintah harus terlibat dalam arti yang sebenar-benarnya.

“Mulai dari akses pelatihan, akses jaminan sosial, dan lainnya, kalau perlu kasih subsidi. Pekerja formal iuran jaminan sosialnya ditanggung perusahaan, lalu kalau pekerja gig, siapa? Pemerintah harus berkontribusi juga, jangan hanya memaksa platform atau pekerja yang bayar. Kalau saya ditanya siapa yang bertanggung jawab untuk jaminan sosial? Saya bilang pemerintah karena konstitusi bilang begitu,” ujar Hanif.

Oleh karena itu, lanjut Hanif, pelatihan yang diberikan pemerintah kepada ojol tidak hanya pada pelatihan berkendara, melainkan juga pada peningkatan keahlian.

“Aksesnya bukan pelatihan berkendara, tetapi pelatihan untuk bisa naik kelas, dianggap sebagai wirausahawan sehingga bisa bangun entitas bisnis yang bagus,” ucapnya.

Hal senada juga diungkapkan akademisi Universitas Brawijaya Budi Santoso. Menurutnya, berdasarkan rekomendasi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO), hubungan ojol dengan perusahaan memang menunjukkan bahwa pengemudi ojol bukan pekerja.

“Pengertian pekerja itu memang worker yang terdiri dari employee dan self employed dan hasil riset kami menunjukkan bahwa saat ini 81 persen pengemudi ojol menjadikan ojek online sebagai pekerjaan utama sehingga terdapat kebutuhan peningkatan skill di luar mengemudi untuk meningkatkan kapasitas kemampuan pekerja gig ini untuk dapat masuk ke sektor formal atau pekerjaan yang lebih baik,” kata Budi.

Sedangkan, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Rani Septyarini menyampaikan pentingnya pemerintah memberikan regulasi yang tepat bagi ojol, yang nantinya akan berdampak besar tidak hanya pada para mitra pengemudi ojol, tetapi juga bagi kesejahteraan masyarakat secara luas.

Ia mencontohkan hasil penelitian yang dilakukan Celios yang membandingkan antara kabupaten yang memiliki atau terdapat ojol (ride hailing) dengan yang tidak terdapat ojol. Hasilnya, menunjukkan bahwa kabupaten yang memiliki ride hailing, tingkat penganggurannya 37 persen lebih rendah dibandingkan kabupaten yang tidak punya ride hailing.

“Tingkat kemiskinan di kabupaten yang memiliki ride hailing juga turun 18 persen,” kata Rani.

Dengan besarnya peran ojol tersebut, sebut Rani, tidak salah jika pemerintah perlu memberikan perhatian lebih kepada industri tersebut, termasuk pada peningkatan keahlian para pekerja ojol.

“Pekerja ojol sumbangsihnya sangat besar untuk ekonomi digital, lebih dari Rp900 triliun dari sisi transaksi. Namun, ini adalah pekerjaan transisi, jika tidak ada upskilling, nanti apa yang akan terjadi pada mereka belasan tahun lagi? Kita harus memikirkan regulasi yang tepat,” ujarnya.

Sementara itu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) mengakui kontribusi ojol sangat besar terhadap perekonomian. Oleh sebab itu, Kemenko Perekonomian saat ini tengah menggodok regulasi yang tepat terkait hubungan kerja antara pekerja gig dan perusahaan aplikator.

“Tantangan pekerja platform ini memang harus bisa dijawab dengan peraturan Permenaker. Pekerja platform adalah entitas sendiri di luar mitra dan pekerja. Untuk itu, perlu dibuat satu aturan Kemenaker yang melibatkan Kemenhub dan juga Kemenkominfo,” kata Asisten Deputi Harmonisasi Ekosistem Ketenagakerjaan Kemenko Perekonomian Nuryani Yunus. (ant/kev/ipg)

 

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
36o
Kurs