Reti Oktania Psikolog Klinis Anak dan Remaja mengatakan, para remaja perlu mempelajari lima konsep diri supaya tidak terjebak pada konsep pernikahan dini.
Lima konsep itu, kata Reti, meliputi kompetensi skolastik hingga tingkah laku yang bisa menjadi bekal menuju tahapan dewasa.
“Kenapa anak usia remaja tidak dianjurkan menikah? Karena di usia tersebut, tugas mereka adalah mengembangkan konsep diri yang positif,” terang Reti, melansir Antara, Rabu (9/10/2024).
Reti menambahkan, ada lima konsep diri yang perlu diketahui dan dikembangkan anak serta remaja untuk membantu mereka di tahap dewasa nanti, yaitu kompetensi skolastik, penerimaan sosial, kompetensi atletik, penampilan diri, dan tingkah laku.
“Ketika remaja telah menginjak usia dewasa, mereka sudah siap untuk bertanggung jawab atas pilihan masing-masing, termasuk menikah, karena sudah dibekali dengan lima konsep diri yang telah dilakukan sebelumnya,” ujarnya.
Sebaliknya, remaja yang melakukan pernikahan dini umumnya belum mengenali konsep diri mereka dengan tepat. Sehingga, berdampak saat mereka telah menjadi orang tua.
“Otak depan manusia baru matang di usia 24 atau 25 tahun. Otak depan itu berfungsi sebagai decision maker untuk mengambil keputusan bertanggung jawab, makanya banyak orang tua yang belum siap, tapi sudah punya anak (salah satunya karena pernikahan dini),” katanya.
“Kalau dia menikah (di usia dini), dia enggak punya lagi kesempatan olahraga, main sama teman sebayanya karena langsung dikasih tugas menikah,” sambungnya.
Ada dua faktor utama terjadinya pernikahan dini baik pada remaja maupun anak, yaitu masalah ekonomi dan kurangnya akses pendidikan. Di Indonesia, kasus pernikahan dini masih banyak terjadi, terutama di pelosok daerah karena dua masalah utama di atas.
Oleh sebab itu, Reti menilai perlu adanya andil berbagai pihak untuk memutus rantai pernikahan dini di Indonesia. Mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga orang tua dalam memberikan akses pendidikan serta informasi yang diperlukan bagi anak dan remaja demi masa depan yang lebih baik.
“Pendidikan seksual, dan seberapa siap mental mereka untuk menikah juga perlu dijelaskan. Pemerintah juga perlu memerhatikan kesejahteraan ekonomi, pemerataan pendidikan, dan akses informasi bagi masyarakat agar bisa memutus rantai pernikahan dini,” ungkapnya.
Reti pun berpesan agar para remaja dan anak-anak di Indonesia dapat mengembangkan potensi diri semaksimal mungkin, tanpa perlu melakukan pernikahan dini. Dengan begitu, mereka dapat meraih masa depan yang lebih baik dan semakin mencintai diri mereka sendiri.
“Anak-anak remaja yang saya sayangi, kalian terlahir di dunia pasti punya makna, sebelum kalian dewasa yuk sama-sama cari identitas kalian, apa sih makna diri saya di dunia? Melalui pendidikan, sosialisasi, dan menjaga diri supaya kamu lebih mencintai diri kamu dan terus berbuat baik dengan sesama,” tandasnya.(ant/kir/rid)